Senin, 31 Agustus 2009

Ke Kantor Hanya Ambil Gaji

Tentang Mutasi di Kukar

TENGGARONG, TRIBUN - Diperkirakan, selama hampir 32 bulan atau Oktober 2005, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) telah menghabiskan dana Rp 2,4 miliar lebih untuk membayar gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) non job atau PNS yang status pekerjaannya tak jelas. Menurut Mantan Asisten III Chairil Anwar dana sebesar itu menjadi sia-sia atau mubazir, karena dibayarkan kepada para pegawai yang tidak bekerja. Dana sebesar itu hanya dihabiskan untuk pegawai yang tak memberikan kontribusi tenaga, pikiran, dan waktu bagi pembangunan di Kukar.

"Dari data yang dihimpun teman-teman, ada sekitar 180 orang PNS yang non job. Mereka berasal dari berbagai  dari berbagai dinas, badan dan kantor. Sekitar 50-70 di antaranya adalah pegawai yang memegang jabatan. Mereka memiliki masa kerja lebih dari 15 tahun dan golongan III b ke atas," kata mantan Asiten III Chairil Anwar, Senin (23/6).  Ia lalu berhitung, jika gaji non job itu dirata-ratakan sekitar Rp 1,5 juta per bulan maka dana yang dihabiskan untuk membayar gaji PNS non job ini sekitar Rp 2,4 miliar hingga Rp 3,3 miliar.

"Kalau dihitung seperti itu, ada dana sekitar Rp 1 miliar lebih yang sia-sia. Sebab, gaji itu dibayarkan kepada mereka yang tidak bekerja atau melakukan sesuatu," ujarnya. Ia lalu mencontohkan dirinya. Sebagai golongan IV/c, ia mendapatkan gaji pokok sekitar Rp 2,9 juta/bulan. Tidak mendapat tunjangan struktural lagi, karena tidak memegang jabatan. Untuk dirinya sendiri, Pemkab sudah menyia-nyiakan dana sekitar Rp 92 juta.
"Saya berharap pemerintah mau memperhatikan kami. Selain karena kerugian biaya yang cukup besar sekali, tenaga dan pengalaman kami sangat diperlukan. Kami punya pengalaman lebih dari 15 tahun, tak perlu diajarin lagi," ujarnya.

Menurutnya, walaupun selama ini dirinya tidak jelas bekerja dimana, siapa atasan, bawahan, tugas dan kewajibannya, gajinya tetap lancar. Ia tidak mengalami masalah dalam hal ini. "Lancar saja. Tiap bulan saya ambil gaji saya di BPD (Bank Pembangunan Daerah) Tenggarong," ujarnya.
Senada dengannya, seorang pegawai non job yang meminta namanya tak disebutkan mengutarakan, dirinya tak mengalami kendala saat mengambil gaji. Ia mendapat gaji di dinas, sebelum ia di-non job-kan
"Saya golongan IV/b. Tiap bulan, gaji pokok saya sekitar Rp 2,5 juta. Jumlah itu yang saya terima selama non job," ujarnya.
Ia juga menyayangkan keadaan itu terus berlangsung. Sebab, mereka tetap mendapat gaji sementara mereka tidak bekerja. "Kalau gaji saya sudah diurus oleh Bendahara Dinas. Jadi kalau ngambil, saya ke bendahara itu. Setelah itu, langsung pulang. Toh kita tidak punya pekerjaan juga. Meja dan kursi kita juga tidak jelas. Lama-lama, nggak enak juga keadaan seperti ini. Tapi saya sih tidak masalah, karena dua tahun lagi pensiun. Beda dengan yang masih muda," ujarnya.

Samsuri akan Evaluasi

PELAKSANA Tugas (Plt) Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Samsuri Aspar berjanji akan mengevaluasi pegawai-pegawai yang non job atau yang menganggur. Hal itu dikatakan usai mengikuti Rapat Paripurna 7 mengenai Kata Akhir Fraksi Terhadap Laporan Pansus Aspirasi Masyarakat Kutai Tengah di Ruang Rapat Paripurna DPRD, Senin (23/6).  "Nanti kita bicarakan, kita evaluasi dulu. Karena ada aturan main, ada Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan). Jadi saya belum bisa memutuskan. Saya butuh pertimbangan-pertimbangan lebih dulu," ujarnya.

Ketika ditanya kapan hal itu akan dilakukan, Samsuri mengulangi jawabannya. Persoalan non job akan segera dievaluasi. Senada dengannya, Plt Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Kukar M Aswin mengatakan, persoalan non job akan dibahas di Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Setelah itu, akan dibicarakan lagi di tingkat Baperjakat. "Kami akan pelajari dulu. Kami tidak akan gegabah. Persoalan ini akan dibawa ke lingkungan BKD lalu dibicarakan di Baperjakat. Karena ada juga pegawai yang tidak bertugas karena keinginannya. Kalau seperti ini kita beri batas waktu hingga 30 hari," kata Aswin.

Ia lalu menyebut dua jabatan kepala dinas saat ini yang belum terisi karena dua pejabat di posisi tersebut belum bersedia memegang jabatan itu, yaitu di Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja. Seperti diberitakan sebelumnya, mantan Asisten III Pemkab Kukar Chairil Anwar meminta pemerintah memperhatikan para PNS non job. Sebab, hampir tiga tahun, dirinya dan ratusan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak jelas pekerjaannya. Mereka tidak diberikan Surat Keputusan (SK) pemberhentian dari jabatan semula dan SK yang baru.

"Dari Oktober tahun 2005, status kami, bekerja dimana, siapa bawahan kami, siapa atasan kami, ruangan kami dimana, meja dan kursi yang mana, itu tidak jelas. Kami mohon, semoga pemerintah sekarang, dapat memperhatikan nasib kami," kata Chairil. Pegawai non job ini berasal dari berbagai dinas. Dan mereka mengaku tidak tahu mengapa mereka non job begitu lama. Padahal, selama itu, mereka tetap mendapatkan gaji pokok yang besarnya sama seperti pegawai lain.(reo)
Tribun Kaltim, 24 Juni 2008

Minggu, 30 Agustus 2009

Ada PNS tak Tahu Siapa Atasannya

Seringnya Mutasi

TENGGARONG, TRIBUN - Pegawai Negeri Sipil (PNS) non job atau pegawai 'menganggur' karena tak jelas posisi, tugas dan tanggung jawabnya, meminta agar Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar) memperhatikan nasib mereka. Keadaan tersebut sudah berlangsung hampir tiga tahun. "Oktober nanti kami genap tiga tahun non job. Selama itu, status kami, kami bekerja dimana, siapa bawahan kami, siapa atasan kami, ruangan kami dimana, meja dan kursi yang mana, itu tidak jelas. Kami mohon, semoga pemerintah sekarang dapat memperhatikan nasib kami," kata mantan Asisten III Pemkab Kukar Chairil Anwar yang mewakili rekan-rekannya saat melakukan pertemuan sesama pegawai non job di rumahnya, Sabtu (21/6).

Menurutnya, permintaan itu muncul setelah maraknya aksi demonstrasi mengenai penolakkan mutasi yang terjadi akhir-akhir ini. "Saya rasa mutasi itu sah, hanya penyegaran saja. Pejabat yang dimutasi masih mendapatkan posisi yang sama eselonnya. Bandingkan dengan kami, ada yang eselon II dan III, tiba-tiba setelah ada mutasi tidak jelas nasib kami," ujarnya.  Menurutnya, saat ini terdapat sekitar 180  PNS  non job. Mereka tidak dipekerjakan sejak mutasi Oktober 2005 dan Oktober 2006.

"Rata-rata yang di-non job-kan  adalah PNS dengan masa kerja sekitar 15-20 tahun ke atas. Bayangkan, kami sudah memiliki pengalaman dan keterampilan yang mumpuni, tapi mengapa kami tidak digunakan," kata seorang pegawai yang tidak dipekerjakan asal Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD). Ia meminta kepada Tribun namanya tak disebutkan. Menurutnya, 180 PNS yang tidak dipekerjakan itu berasal dari berbagai instansi pemerintah. Misalnya, Sekretariat Daerah, Dinas Pendidikan, Dinas Pertambangan dan Energi, Camat, Sekretariat Dewan dan lainnya.

"Hingga sekarang, kami tidak mendapat penjelasan dari BKD (Badan Kepegawaian Daerah) mengenai hal itu. Kami juga tidak mendapatkan SK (Surat Keputusan) Pemberhentian," ujarnya.  Ia menjelaskan, dalam UU Pokok-Pokok Kepegawaian Non 8 tahun 1974 dan PP 20 tahun 1995 mengenai kepegawaian, ada tiga hal yang dapat menyebabkan PNS diberhentikan. Ketiganya itu yakni, korupsi, amoral dan ideologi. "Tapi sebelum diberhentikan, kami juga harus mendapatkan surat teguran dan lainnya. Ini tidak, tiba-tiba tidak jelas bertugas apa," ujarnya.

Chairil juga mempertanyakan mengapa DPRD Kukar tidak mengambil tindakan melihat persoalan ini. Menurutnya, selama ini, DPRD Kukar hanya menyampaikan saran dalam pandangan fraksi ketika eksekutif menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPj). "Mengapa DPRD Kukar tidak menggunakan hak angket dan interplasi mereka. Padahal, jelas- jelas ada hal-hal yang melanggar peraturan," ujarnya. Karena itu ia  dan rekan-rekan mendorong DPRD menggunakan hak untuk melakukan penyelidikan mengenai adanya dugaan ketidakberesan di lembaga pemerintah. Selain itu DPRD juga bisa gunakan hak interplasi atau hak untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban pemerintah terkait kebijakan tertentu.

Sekarang tak Pernah Diundang Hajatan

SUARA tawa terdengar dari mulut Chairil, namun wajahnya tampak tak gembira. "Apa yang kami rasakan saat ini bukan kematian perdata, tapi kematian sosial masyarakat. Kami tak dianggap oleh rekan-rekan kami," kata Chairil, ketika ditemui di kediamannya, depan Terminal Timbau, Sabtu (21/6). Ia melanjutkan cerita pahitnya itu. "Dulu ada bawahan dan pegawai lainnya yang ketemu saya nunduk-nunduk, negur dan memberi sikap hormat lainnya. Tapi kalau sekarang, begitu melihat saya lalu menghindar jauh-jauh," ujarnya.

Tak hanya itu, ikatan silahturahmi yang dulunya terjalin erat tiba-tiba sirna akibat status sebagai non job. "Sekarang kalau ada hajatan, rekan-rekan saya dulu nggak bakal ngundang. Mungkin mereka khawatir, kalau mengundang mereka akan di-nonjob-kan juga," kata pria yang rambut dan jenggotnya mulai berwarna putih itu.  Oktober 2005, saat Ramadhan atau bulan penuh berkah, Chairil dimutasi. Ia dicopot dari jabatannya tanpa ada surat pemberhentian atau mendapat penjelasan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Ia tak tahu mengapa statusnya 'menganggur'.

Ia juga mengaku, tak diundang untuk hadir saat pelantikan dan sumpah jabatan lainnya. Ia juga tak mendapat Surat Keputusan (SK) yang baru. SK yang menjadi pedoman ia dalam bekerja, dimana ia bekerja, siapa atasan, bawahan, tugas dan lainnya. "Tak ada, semuanya itu tak ada. Hingga kini, saya belum pernah mendapat surat pemberhentian. Jadi, status saya masih Asisten III," ujarnya kemudian tertawa.
Walaupun belum mendapat surat pemberhentian, Chairil mengaku malu jika masuk kantor.

Sebab, pejabat baru penggantinya sudah ada di dalam ruangan. Ia memilih untuk tak turun kerja dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengambil hikmah dari kejadian itu. Chairil paham, apa yang menimpa dirinya adalah sesuatu di luar aturan. Namun ia tak berniat membawa masalah ini ke Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) di Samarinda. "Lebih baik saya habiskan waktu saya untuk berdoa. Ada tiga doa orang yang makbul. Pertama adalah doa dari pemimpin yang ada, lalu ibu bapa dan ketiga dari orang yang terdzalimi seperti kami ini," ujarnya.

Namun, asa masih ada dilubuk hati. Sebab ia masih berusia 49 tahun dan ingin, waktu 7-8 tahun sebelum memasuki masa pensiun, dapat digunakan untuk mengabdikan dirinya sebagai PNS. "Saya harap pemerintahan sekarang, memberi perhatian kepada kami-kami ini. Kami punya pengalaman kerja lebih dari 15 tahun, bahkan ada yang 25 tahun. Bicara kemampuan, kami sudah tak perlu diajarin lagi," ujarnya.(reo)
Source 23 Juni 2008

Minggu, 23 Agustus 2009

Pejabat-Pejabat Was-Was

Soal Mutasi di Pemkab Kukar

TENGGARONG, TRIBUN - Pejabat di Kutai Kartanegara (Kukar) saat ini harap-harap cemas menanti diberlakukannya  Peraturan Pemerintah (PP) 38 tahun mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.dan PP 41 tahun 2007 mengenai Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Sebab, dengan adanya kebijakan ini, beberapa dinas akan dihapus dan dileburkan dengan dinas lainnya.

"Saat ini pejabat harap-harap cemas. Apakah restrukrisasi organisasi yang akan dilakukan ini akan mengganggu jabatannya atau tidak," kata pengurus Kesatuan Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kukar Fadli, saat Seminar Implementasi PP No 38 dan 41 di di Pendopo Wakil Bupati Kutai Kartanegara, Kamis (19/6). Seminar itu dihadiri sekitar 50 orang, sebagian dari mereka adalah Kepala Dinas, Badan dan Kantor. "Kalau pejabat itu memandang jabatan itu sebagai prestise bukan sebagai pelayanan atau amanah, mereka pasti merasa terganggu. Siap atau tidak siap dengan kehadiran PP ini, pejabat harus ikhlas dan legowo," kata Fadli.

Ia menjelaskan, perasaan itu bisa saja timbul, karena dengan kehadiran PP ini, beberapa organisasi perangkat daerah akan dihapuskan, misalnya Dinas Pertanahan. "Berdasarkan kajian kami, kami mengusulkan agar dinas ini dihapuskan, walaupun termasuk dalam urusan wajib. Ini berdasarkan PP 41 pasal 22 ayat 2, tidak harus urusan wajib dibentuk dalam organisasi, tapi jangan sampai hal itu tidak diurus. Kemudian, berdasarkan, Permendagri No 57 tahun 2007, pelayanan pertanahan tidak perlu membentuk dinas pertanahan," kata Fadli.

Berbeda dengannya, Pejabat Asisten I Bidang Hukum dan Pemerintahan, Eddy Damansyah, mengusulkan, agar urusan pertanahan menjadi kewenangan Sektretariat Daerah dengan nomenklatur Bagian Administrasi Pertanahan.  "Menurut PP 38, urusan yang diserahkan kepada kabupaten mencerminkan hal-hal yang bersifat koordinasi, regulasi dan tim, termasuk pertanahan. Karena urusan pertanahan lebih dominan koordinasi dan regulasinya maka lebih baik diserahkan kepada Sekretariat Daerah," kata Eddy.

Eddy juga mengatakan, bahwa semuanya ini masih bersifat usulan dan akan terus dibahas. "Target kita sesuai PP 41, semua regulasi sudah rampung pada Juli 2008. Lalu, kita berharap dapat mengimplementasikannya pada awal 2009," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Kabupaten Kukar M Aswin yang menjadi moderator mengatakan, ia berharap masyarakat dapat memahami aturan ini. Ia juga berjanji akan meminalisir terjadinya perampingan.

Sebab, masyarakat Kukar selama ini mudah bergejolak jika terjadi hal-hal seperti ini. "Mutasi saja banyak yang demo apalagi kalau dinasnya dihilangkan," kata Aswin. Selain itu, dengan nada bercanda, ia khawatir, semakin banyak pejabat yang tak menduduki jabatan, maka semakin banyak yang stres. "Kalau banyak perampingan, banyak orang stres, nanti Pemkab malah banyak keluarkan biaya untuk itu. Tapi ini sekadar guyonan saja," katanya kemudian tertawa. (reo)
Source : Tribun Kaltim 20 Juni 2008

Perencanaan Tak Matang

SAMARINDA - Pemkab dan kalangan DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) mengakui, problem Jembatan Martadipura di Kota Bangun adalah “PR” (Pekerjaan Rumah) yang belum terselesaikan. Jembatan yang menghabiskan APBD Kukar sebesar Rp 105 miliar itu tak kunjung difungsikan, sejak diresmikan awal 2006 oleh Mendagri (waktu itu) M Ma’ruf. Apa saja kendalanya?

Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kukar Harun Nurasid yang dikonfirmasi koran ini, tak mau banyak komentar. Namun, ia menegaskan, masalah itu jadi salah satu prioritas untuk dituntaskan pada 2009. Pemkab sedang menyusun perencanaan pembangunan jalan layang yang jadi hambatan sampai jembatan itu belum difungsikan. Bahkan, menurut dia, pemerintah daerah menargetkan pembangunan jalan layang sekitar 15 kilometer itu akan rampung 2009.  “Insya Allah, kami akan bangun dan selesai 2009. Tapi, dananya mungkin dianggarkan bertahap sampai 2011,” jelasnya.

Sebelumnya, Kepala Bappeda Kukar Fathan Djunaidi mengungkapkan, pembangunan jalan layang yang menghubungkan Jembatan Martadipura perlu biaya sekitar Rp 225 miliar. Jalan layang merupakan alternatif, karena medan yang dilalui adalah rawa-rawa. Artinya, bila konstruksi jalan biasa tentu biayanya lebih besar lagi, karena rawa harus ditimbun dulu dengan ketinggian beberapa meter.  “Semuanya rawa dan tidak mungkin dibuat jalan biasa, sehingga alternatifnya, harus dibuat jalan layang," kata Fathan.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPRD Kukar HM Irkham mengatakan, jembatan itu belum difungsikan karena faktor perencanaan yang tidak matang. Pemerintah daerah tak konsisten membangun jalan layang. Seharusnya, ketika pembangunan jembatan itu direncanakan, kebutuhan jalan layang juga sudah dipikirkan. Supaya tidak mubazir, meskipun infrastruktur pendukungnya harus dibangun bertahap.

Politisi PAN itu memahami tujuan pemerintah membangun jembatan itu amat mulia. Yakni, untuk membuka jalur transportasi darat beberapa wilayah yang selama ini terisolasi. “Tetapi, karena perencanaan tidak bagus jadinya seperti itu. Jembatan bertahun-tahun hanya jadi barang antik, belum bisa difungsikan,” kata Irkham.
Disebutkan Irkham, komisinya yang membidangi keuangan dan aparatur menilai, jika pemkab serius mestinya begitu jembatan selesai dibangun langsung dilanjutkan dengan membangun jalan penghubung. Nyatanya, jalan layang yang akan dibangun malah sampai sekarang belum dikerjakan. “Ini tidak terlepas dari komitmen pimpinan di daerah untuk menyelesaikannya,” jelasnya.

Bahkan, menurutnya, bukan hanya jembatan itu bermasalah. Infrastruktur lainnya juga banyak bermasalah. Secara umum, hal itu terjadi karena konsentrasi para pengambil kebijakan di Kukar terpecah belakangan ini. “Belum selesai proyek yang satu, pindah lagi ke proyek yang lain. Akhirnya tidak ada yang beres,” tukasnya.
Karena itu, pemkab dan DPRD harus komitmen menyelesaikan persoalan tersebut. Tahun 2009 harus jadi prioritas, dan seluruh kebutuhan anggarannya dapat dialokasikan dalam APBD. Penegasan itu disampaikan Irkham, mengingat RAPBD Kukar 2009 masih dibahas dan ditargetkan dapat disahkan menjadi APBD akhir Desember ini. (kri)
Tribun Kaltim 25 Desember 2008

TENGGARONG - Penjabat Bupati Kutai Kartanegara Sjachruddin mengajak pejabat di lingkungan Pemkab Kukar menandatangani Pakta Integritas dan Kontrak Kerja siap menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Demikian dikatakan Sjachruddin saat rapat koordinasi dengan kepala badan, dinas, dan kantor serta seluruh camat di ruang serba guna kantor Bupati Kukar, Senin (22/12).

Penandatanganan Pakta Integritas sebagai langkap melaksanakan 10 pesan yang disampaikan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak saat melantik Sjachruddin. Sepuluh pesan yang dimaksud antara lain meminta agar Sjachruddin melakukan pengelolaan keuangan dengan baik, mencegah terjadinya korupsi kolusi dan nepotisme, memperkecil terjadinya konflik saat Pemilu 2009 dan menyatukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) agar tidak terkotak-kotak sehingga dapat bekerja dengan baik.

Awang juga berpesan agar Sjachruddin menandatangani Pakta Integritas bersama para pegawainya. Ini dilakukan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa di Kukar.  Usai pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan,  Sjachruddin langsung mengumpulkan seluruh pejabat Kukar di ruang rapat serba guna kantor bupati. Mantan Asisten I Pemprov Kaltim ini dilantik sebagai Pj Bupati Kukar menggantikan Samsuri Aspar yang kini tengah menjalani proses hukum di KPK.
Pelantikkan dihadiri Kapolda Kaltim Irjen Andi Masmiyat, perwakilan Pangdam IV/ Tpr, Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim, unsur Muspida Kaltim dan Muspida Kukar. Lebih jauh Sjachruddin menjelaskan, penandatanganan Pakta Integritas dan Kontrak Kerja bertujuan menciptakan pemerintahan bersih dan berwibawa di Kukar. Selain itu juga untuk mengukur kinerja aparat pemerintahan selama 15 bulan ke depan.

"Dari situ akan terlihat, apa yang telah dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah, baik input, proses, output dan dampaknya," ujarnya. Sjachruddin dilantik berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 131.64-958 tanggal 16 Desember 2008.

Selain Pakta Integritas, Sjachruddin juga akan mengedepankan pembinaan dengan mengoptimalkan Badan Pengawas Kabupaten (Bawaskab) untuk mencegah korupsi di pemerintahan. Bawaskab akan digunakan untuk meluruskan kegiatan-kegiatan yang mungkin salah dengan melakukan pembinaan.

"Senin pekan depan, saya ingin bertemu dengan Bawaskab untuk membicarakan hal ini. Saya ingin Bawaskab sering turun ke lapangan. Saya juga sudah membicarakan hal ini dengan Bawasprov dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) Kaltim. Saya melihat, selama ini memang pembinaan kurang kita manfaatkan. Jangan sampai Polres dan Kejaksaan yang turun duluan," ucapnya.

Pada kesempatan itu, Sjachruddin juga meminta agar para pegawai tidak bersikap berlebihan saat bertemu dengannya. "Saya ingin semuanya terus terang, jujur dan tak perlu ditutup-tutupi. Saya ingin para pegawai tak berlebihan saat bertemu dengan saya," ucapnya.  Ia mengatakan, jabatan yang diemban adalah cobaan. Apalagi ada 10 pesan yang dititipkan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak saat pelantikkan pagi harinya.

"Saat saya berdoa kepada Allah, kadang saya menangis, karena beban ini cukup berat. Saya kadang bertanya, apakah saya bisa melaksanakannya. Ini amanah dan saya tidak bisa memikul sendirian. Karena itu, seperti yang dikatakan Pak Tarmizi saat ke sini, kita butuh kekompakan untuk mencapai tujuan kita," ucapnya.

Sebelum menjabat sebagai Pj Bupati Kukar, Sjachruddin pernah menduduki posisi Sekretaris Kota Bontang, Pj Walikota Bontang, Asisten I Tata Praja Pemprov Kaltim dan mantan Kepala Bapedalda. "Sjachruddin pernah menjadi anak buah saat saya menjabat Kepala Bapedalda. Saya tahu dia adalah PNS yang baik, punya loyalitas, prestasi dan dedikasi yang tak perlu diragukan lagi," kata Awang. (reo)
Tribun Kaltim 23 Desember 2008

SAMARINDA -  Bila keinginan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak untuk menghentikan pembangunan Bandara Loa Kulu (Tribun, 23/12) diikuti oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, maka uang sebesar Rp 27 miliar bisa jadi akan terbuang sia-sia. Dana sebesar itu berasal dari 60 persen dari pembayaran total perencanaan pembangunan bandara sebesar Rp 45 miliar

"Pada tahun 2003, pembangunan bandara ini diprediksi akan menghabiskan dana hingga Rp 1,2 triliun. Dana itu digunakan untuk perencanaan, pembeliah lahan, pembangunan fisik bandara, fasilitasnya, landarasan udara, radar dan lainnya. Dan dana yang sudah kita gunakan berkaitan dengan perencanaan, sekitar 60 persen dari Rp 45 miliar," kata Kepala Badan Pengelola Bandara Loa Kulu, Kusuma Kandar, Selasa (23/12).

Perencanaan pembangunan bandara dikerjakan oleh konsorsium yang terdiri dari empat perusahaan. Keempat perusahaan itu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Rumah Indonesia ditugaskan untuk menyelesaikan masalah interior, Prakarya untuk pembangunan fisiknya, Graha Cipta Indonesia untuk perencanaannya dan Dirgantara Indonesia yang mengelola bandara ini.

Pembayaran dana-dana itu dilakukan dengan menggunakan uang dari APBD 2003 hingga 2005. Namun, sejak tahun 2006, atau sejak dugaan korupsi pembangunan bandara itu terungkap, tak ada dana lagi yang dianggarkan dalam APBD, termasuk APBD 2009. "Dana-dana itu kita gunakan hanya untuk perencanaan saja. Untuk kegiatan land clearing-nya, itu belum kita bayarkan karena memang belum ada kegiatan ke arah sana," ucapnya.

Ia juga menuturkan, pembangunan Bandara Loa Kulu ditargetkan untuk selesai sebelum PON 2008. Pembangunan bandara sudah digagas sejak tahun 2003. Selama dua tahun, hingga tahun 2005, kegiatannya berupa perencanaan dan pembebasan lahan. Kemudian, pada tahun 2006 hingga 2007 dilakukan pembangunan fisik. Sehingga pada tahun 2008, sudah digunakan untuk PON 2008.

"Salah satu alasan pembangunan Bandara Loa Kulu adalah untuk menghadapi PON 2008 yang lalu. Untuk mempercepat arus atlit," ucapnya. Namun, keinginan itu ternyata tidak terwujud karena terhambat izin prinsip dari Menteri Perhubungan (Menhub) saat itu.

Menurut Kumala, izin prinsip itu seharusnya keluar pada tahun 2006. "Menteri tidak mungkin mengeluarkan izin bandara yang berdekatan lokasinya," ucapnya.

Akibatnya, keinginan Syaukani untuk menerbangkan jemaah haji dari Bandara Loa Kulu ke Makkah hanya tinggal keinginan belaka. "Pak Kaning itu punya keinginan yang jauh ke depan. Dia ingin menerbangkan jamaah haji kukar langsung dari Bandara ini. Pak Kaning juga berpikir kalau bandara ini akan menjadi tumpuan kukar jika Sumber Daya Alam (SDA) habis dan mengandalkan sektor jasa dan pariwisata saja," ujarnya.

Masyarakat Kukar juga akan sulit untuk melihat Bandara yang arsitekturnya dibuat berdasarkan kekayaan alam dan budaya kukar. Atap bandara terinspirasi burung Enggang, gedung bandara mirip tameng perang dan tower bandara seperti mandau masyarakat Dayak. (reo)

KRONOLOGI  PEMBANGUNAN BANDARA LOA KULU
Tahun     Kegiatan
2003        Persiapan dan administrasi proyek
2004- 2005     Persiapan Sumber Daya Manusia (SDM)
        Disain bandara
        Perizinan dan sertifikasi
        Penyiapan sistem operasi bandara
2005        Namun, karena tak mendapatkan izin prinsip dari Menteri Perhubungan,              pembangunan bandara belum bisa dilanjutkan
2006-2008    Tak ada kegiatan. Pemkab juga tak menganggarkan untuk tahun 2009.
Tribun Kaltim 27 Desember 2008

JAKARTA - Bupati Kukar (non aktif)  Syaukani Hasan Rais gagal bersaksi untuk (Plt) Bupati Kukar Samsuri Aspar. Dua lembar surat yang dikeluarkan Rumah Sakit Pertamina Pusat menyatakan Syaukani sedang sakit. Sehingga tidak bisa menghadiri persidangan. "Hari ini kami akan menghadirkan empat saksi.Namun satu saksi yakni Syaukani HR tidak bisa hadir karena sakit," kata Jaksa Zet Tadung Allo dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/12).

Walhasil,Jaksa Penuntut Umum KPK hanya menghadirkan tiga saksi untuk terdakwa Samsuri Aspar.Yakni Ketua DPRD Kukar Bachtiar Effendi, Wakil Ketua DPRD Kukar Joice Lidia dan anggota DPRD yang menjabat Kepala Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) Setia Budi.

Seusai persidangan,jaksa Zet Tadung Allo menunjukkan surat  zin sakit Syaukani. Dalam surat yang ditandatangani dr Adji Suprayitno tertulis sakitnya Syaukani antara lain NIDDM Hypertensi dan observasi sleepy tremor dan HNP (sakit tulang bekas operasi).  "Kita akan panggil lagi saksi Syaukani pada persidangan berikutnya pada tanggal 8 Januari 2009," tambah Zet Tadung.

Dijelaskan Zet Tadung Allo, kehadiran Syaukani untuk menjelaskan apa saja kewenangan Bupati dan Wakil Bupati. "Apa benar ketika Samsuri Aspar selaku Wakil Bupati mendisposisi permohonan dana operasional DPRD, ketika itu Bupati (Syaukani) sedang berhalangan," lanjut Zet Tadung.

Secara terpisah, Humas RSPP Titik Wahyuni membenarkan Syaukani dirawat sejak 27 November lalu. "Tapi tidak terus-terusan dirawat. Kadang dirawat, kadang pulang," tegas Titik. Namun sumber Persda Network menyebutkan, Syaukani dirawat di kamar 604 kelas Presiden Suite. Di kamar paling mahal yang dimiliki RSPP, setiap harinya Syaukani harus membayar Rp 2,5 juta untuk kamarnya saja. (persda network/yls)
Tribun Kaltim 19 Desember 2008

JAKARTA - Pelaksana Tugas Bupati Kukar Samsuri Aspar mengaku menerima Rp 850 juta dari dana bantuan sosial (Bansos) senilai Rp 29,5 miliar yang menyeretnya ke Pengadilan Tipikor. Uang Rp 850 juta tersebut diterima dari Ketua Panitia Urusan Rumah Tanggan (PURT) Setia Budi yang kini juga menjadi terdakwa dalam kasus serupa.

Namun Samsuri mengaku tidak tahu kalau uang yang diterimanya ada kaitannya dengan dana bantuan sosial. Sepengetahuannya, uang tersebut adalah sumbangan dari Setia Budi sebagai Wakil Ketua Partai Golkar. Uang diserahkan ke Bendahara Partai Golkar. Namun setelah tahu uang berasal dari dana Bantuan Sosial Pemkab Kukar, Samsuri menyerahkan uang tersebut ke Setia Budi untuk dikembalikan.

Pengakuan tersebut disampaikan Samsuri Aspar saat bersaksi untuk terdakwa Setia Budi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/12). Saat Samsuri duduk sebagai terdakwa, Setia Budi gantian sebagai saksi. Setia Budi juga mengaku menyerahkan uang Rp 850 juta kepada Samsuri dalam bentuk Cek Multi Guna (CGM) Bank BNI sekita bulan November-Desember 2005.

Baik persidangan dengan terdakwa Samsuri maupun Setia Budi, dihadirkan saksi lain yang sama, yakni Ketua DPRD Kukar (non aktif) Bachtiar Effendi dan Wakil Ketua DPRD Kukar Joice Lidia.   

Selain itu, ada permohonan dana untuk mutasi senjata anggota DPRD yang diajukan Setia Budi pada November 2005 senilai Rp 1,2 miliar. Samsuri mengaku, kedua surat permohonan tersebut ditujukan untuk Bupati Kukar Syaukani Hasan Rais Cq Asisten IV Basran Yunus.

Namun dengan alasan Syaukani waktu itu tidak berada di kantor, Samsuri yang mengaku sudah terbiasa menerima surat permohonan semacam itu langsung mendisposisikan ke Asisten IV Basran Yunus.  (persda network/yls)

Tribun Kaltim 19 Desember 2008

JAKARTA - Perintah hakim Pengadilan Tipikor menindaklanjuti keterlibatan pihak lain dalam kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) di Kutai Kartanegara disambut positif Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Berdasarkan fakta persidangan, JPU KPK telah mengidentifikasi dua anggota DPRD, satu pejabat Pemkab Kukar dan satu orang pihak swasta yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi senilai Rp 29,5 miliar tersebut.

"Dari fakta persidangan, kita bisa menyimpulkan adanya keterlibatan pihak lain dalam perkara ini. Kita akan serahkan ke pimpinan KPK untuk dikembangkan. Saat ini, penyidik di KPK sedang mengembangkan penanganan perkara ini," kata Koordinator JPU KPK Zet Tadung Allo di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/12).

Keempat orang yang berindikasi terlibat kasus dana bantuan sosial adalah anggota DPRD Kha dan EM, Asisten IV Pemkab Kukar BY dan pihak swasta yakni Boy alias Ica. Jadi empat orang ini calon tersangka? "Ya pokoknya tugas kita menyerahkan ke pimpinan untuk ditindaklanjuti. Hakim juga sudah memerintahkan kita menindaklanjuti," lanjut Zet Tadung Allo.

Khusus untuk Kha, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Moefri secara tegas meminta agar JPU KPK menindaklanjuti status Kha yang kini masih sebagai saksi di Pengadilan Tipikor pada persidangan pekan lalu. Jaksa Zet Tadung Allo menjelaskan, peranan Kha yakni mengajukan surat permohonan dana operasional ke Plt Bupati Kukar Samsuri Aspar senilai Rp 18,5 miliar. Namun dana yang diterima tersebut, dibagi-bagikan kepada 37 anggota DPRD Kukar senilai Rp 16,5 miliar. "Kha sendiri menikmati Rp 2,5 miliar dan Rp 375 juta," ujar Zet Tadung Allo.

Saat bersaksi, Samsuri Aspar mengatakan bahwa surat permohonan dana Rp 18,5 miliar diserahkan oleh Kha yang diketahui sebagai anggota DPRD dan Wakil Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) DPRD Kukar. Ketua DPRD Kukar (non aktif) Bachtiar Effendi yang bersaksi untuk Setia Budi dan Samsuri Aspar mengaku, dirinya diberikan uang oleh Kha senilai Rp 375 juta. Begitu pula wakil Ketua DPRD Kukar Joice Lidia mengaku diberi Rp 125 juta.

Sedangkan keterlibatan EM, dia yang menggunakan dana bantuan sosial yang diberikan Pemkab Kukar kepada organisasi Banteng Mahakam sebesar Rp 5,5 miliar. "Setelah kita cek, ternyata tidak ada dana digunakan Banteng Mahakam. Rp 500 juta dipergunakan oleh EM dan sisanya Rp 5 miliar diberikan kepada Setia Budi," terang Zet Tadung Alo.

Terhadap Ica, dia lah yang mengajukan penggunaan dana Rp 5 miliar untuk peralatan band di 18 kecamatan. Namun realitasnya, dana yang dibelikan untuk band bagi Pengurus Tingkat Kecamatan (PTK) Golkar hanya Rp 1,3 miliar. Sisanya Rp 950 juta diserahkan ke Samsuri Aspar. Sedangkan, keterlibatan Asisten IV BY, dialah yang mendisposisi pencairan uang dana Bansos. BY juga mendisposisi 54 proposal fiktif untuk menggantikan dana Rp 18,5 miliar yang diterima DPRD. (persda network/yls)

Calon Tersangka Baru
* Kha (Anggota DPRD)
Berperan membagi-bagi uang bansos Rp 16,5 miliar
* EM (Anggota DPRD)
Menggunakan dana bansos Rp 5,5 miliar untuk pribadi dan Setia Budi
* BY (Asisten IV Pemkab Kukar)
Berperan mendisposisi 54 proposal fiktif pengganti dana Rp 18,5 miliar
* Boy alias Ica (Swasta)
Mengajukan dana Rp 5 miliar untuk membeli alat band

Tribun Kaltim 19 Desember 2008

Jumat, 14 Agustus 2009

Sjahchruddin Jadi Pj Bupati Kukar

Senin Dilantik, Menjabat 15 Bulan

SAMARINDA – Terjawab sudah siapa yang akan menduduki posisi Pj Bupati Kukar. Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak menyebutkan, Sjachruddin adalah pilihannya. Ia dilantik Senin (22/12) nanti.  “Sjachruddin akan jadi Bupati Kukar. Senin dilantik,” tegasnya kepada Kaltim Post di ruang kerjanya, kemarin. Menurut Faroek, alasan memilih Asisten I Sekprov Kaltim itu menjadi Penjabat (Pj) Bupati Kukar, karena Sjachruddin adalah sosok yang paling tepat untuk mengisi posisi itu.

“Secara kualitatif dan kuantitatif, beliau (Sjachruddin, Red.) memenuhi syarat. Apalagi, selama menjadi asisten I Sekprov dia bisa menjalankan tugasnya dengan baik,” jelasnya. Dalam daftar Faroek, para calon ternyata adalah mereka yang pernah menjadi pejabat bupati. Mereka adalah Sjachruddin yang pernah bertugas menjadi Pj wali kota Bontang, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kaltim Abdussamad yang pernah menjadi Pj Bupati Bulungan, dan Kepala Dinas Perhubungan Kaltim Adi Buhari Muslim juga pernah menjadi Pj Bupati Paser.

“Saya harap masyarakat Kukar dapat menerima kehadiran dia. Saya pikir, Sjachruddin merupakan sosok yang tepat untuk mengisi posisi itu,” jelasnya. Faroek menyebutkan, Sjachruddin menjabat selama 15 bulan terhitung saat dilantik Senin (22/12) nanti. “Dengan begini, pemerintahan Kukar dapat berlanjut. Apalagi saat menghadapi pemilihan umum pada 2009. Juga dalam penggunaan dan pencairan dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Red.) Kukar,” tuturnya.

SJACHRUDDIN KAGET

Sementara, Sjachruddin saat dikonfirmasi media ini mengaku kaget dengan informasi tersebut. Ia mengaku, belum mendapat informasi apapun dari Awang Faroek Ishak. “Saya sangat kaget. Saya belum tahu ada informasi ini,” ujarnya dengan suara lemas karena kaget mendengar kabar ini. Meski demikian, Sjachruddin mengaku siap dan berusaha menjalankan amanah dan tanggung jawab itu dengan sebaik-baiknya.  “Saya juga merasa khawatir. Ini tanggung jawab besar. Namun, saya berkomitmen untuk memegang teguh amanah ini dengan baik,” ujarnya. (*/che)
Kaltimpost 19 Desember 2008

KPK Bidik Tersangka Baru

JAKARTA - Jumlah saksi kasus korupsi dana bantuan sosial Kabupaten Kutai Kartanegara (bansos Kukar) yang diduga terlibat bersama terdakwa Samsuri Aspar dan Setia Budi kemungkinan besar bertambah. Jika sebelumnya ada Khairudin, Basran Yunus, dan Boyke Andre Noriza alias Ica, kini satu nama baru dimunculkan jaksa KPK Zet Tadung Allo.

Dia adalah anggota DPRD Kutai Kartanegara Edy Mulawarman. Menurut Zet, keterlibatan Edy terlihat pada proses pencairan proposal bansos fiktif untuk organisasi Banteng Mahakam senilai Rp 5,5 miliar.
Meski begitu, jadi tidaknya keempatnya jadi tersangka, lanjut Zet, sepenuhnya ada di tangan pimpinan KPK. “Fakta persidangan, perbuatan mereka memang sudah jelas. Yang pasti kita takkan membiarkan mereka bebas. Semua fakta persidangan itu sudah kita laporkan ke pimpinan,” tegas Zet selepas persidangan Setia Budi di Pengadilan Tipikor, Kamis (18/12).

Edy diperintah Setia Budi membuat poposal untuk Banteng Mahakam setelah mendengar ada 16 kegiatan bantuan kepada organisasi masyarakat yang tercantum dalam Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) Bagian Kesejahteraan Masyarakat di APBD Kukar pada 2006.

Yang diajukan awalnya senilai Rp 6,3 miliar, tapi setelah mendapat disposisi dari Samsuri, wakil bupati Kukar waktu itu, dan Asisten IV (Basran Yunus) tertanggal 27 Juni 2006, dana yang disetujui turun menjadi Rp 5,5 miliar. Uang ini kemudian dicairkan di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kaltim cabang Tenggarong pada 4 Juli 2006.

Dalam beberapa kali transfer sebanyak Rp 5 miliar dimasukkan ke rekening Setia Budi, adapun Rp 500 juta diterima Edy. “Kita punya bukti transferan uang ke Setia Budi-nya,” ungkap Zet. Sesuai dakwaan, untuk mempertanggungjawabkannya, atas perintah Setia Budi, uang ini kemudian dibuatkan 16 proposal fiktif oleh Edy, dengan ketentuan masing-masing nilainya di bawah Rp 500 juta.

Adapun keterlibatan Ica, Khairudin, dan Basran, sebut Zet, sudah jelas. Selaku Asisten IV, Basran punya kewenangan sebagai kuasa pengguna anggaran bansos. Dia yang menyetujui puluhan proposal fiktif dengan tujuan menguntungkan pribadi atau orang lain. Khairudn perannya sebagai penyalur uang dan pemohon proposal fiktif bersama Setia Budi. Sedangkan Ica, bersama Samsuri merancang 18 proposal fiktif pengadaan alat band bagi pimpinan Partai Golkar tingkat kecamatan seluruh Kukar.

Agar tak kentara untuk Golkar, Samsuri yang kala itu menjabat ketua DPD Golkar Kukar, menggantinya menjadi program Gerbang Dayaku Band senilai Rp 5 miliar. Terungkap pengadaan alat band sebenarnya menghabiskan dana Rp 1,153 miliar, ditambah Rp 25 juta untuk biaya operasional tiap kecamatan. Ica mengaku mendapat Rp 2 miliar, sedangkan Rp 950 juta diserahkan ke Samsuri.

UNTUNGKAN NEGARA

Mantan Ketua DPRD Kukar Bachtiar Effendi dan Wakil Ketua DPRD Kukar Joyce Lidya mengaku harus nombok untuk mengganti kerugian negara kasus bansos. Alasannya, data KPK dengan kenyataan yang mereka terima beda jauh.

Bachtiar bahkan mengaku hanya menerima uang Rp 50 juta – dalam 2 tahap pemberian Rp 15 dan Rp 35 juta-- dari Khairudin, yang belakangan diketahuinya uang bansos. Joyce agak besar senilai Rp 125 juta dalam bentuk cek multi guna BNI. “Kata Khairudin itu biaya operasional,” sebut keduanya.

Joyce mengatakan, kuitansi tak mencantumkan jumlah uang yang diterima. Dia hanya diminta Khairudin membubuhkan tanda tangan. “Cuma nama dan disebutkan dana operasional. Di bawah tanda tangan saya ada nama Made Sarwa dan Abubakar,” sebutnya.

Pada persidangan Setia Budi, Bachtiar dan Joyce dijadikan saksi bersama Samsuri Aspar. Sebaliknya, saat Samsuri jadi terdakwa, giliran Setia Budi memberikan kesaksian. Tadinya, mantan Bupati Kukar Syaukani HR ikut jadi saksi Samsuri, tapi karena tengah dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, dijadwalkan akan dipanggil kembali tanggal 8 Januari 2009. Joyce dan Bachtiar menyebutkan pula, apa yang dilakukan Setia Budi dengan mengajukan proposal biaya operasional Rp 18,5 miliar dan mutasi pistol berpeluru karet senilai Rp 1,2 miliar menyalahi aturan.

Keduanya juga membantah pernah ikut diajak pembicaraan tentang dua permohonan dana ke Pemkab tersebut. Sesuai aturan, pengajuan dana harus lewat rapat resmi dewan, bukan perseorangan—dengan menggunakan kop surat DPRD—seperti yang dilakukan Setia Budi yang waktu itu menjadi Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga dan Ketua Komisi II.

Sementara Samsuri membantah tahu soal pencairan dana Rp 5,5 miliar untuk Banteng Mahakam. Dikatakannya, proposal selalu ditanda tanganinya karena Syaukani selaku kepala daerah sering bepergian keluar daerah.

“Yang lebih tahu soal penggunaan anggaran adalah Asisten IV (Basran), makanya disposisi saya selalu ditulis proses sesuai prosedur dan lihat anggaran,” sebutnya. Samsuri juga membantah ikut terlibat dalam pembuatan 54 proposal fiktif pengganti pengeluaran Rp 19,7 milar dana operasional DPRD.

Sedangkan Setia Budi mengaku lupa untuk meminta disposisi ke Syaukani sebagai kepala daerah. Dia juga mengaku khilaf sampai mengajukan proposal puluhan miliar itu. Khusus untuk dana operasional DPRD, pria berumur 53 tahun ini mempertanyakan kenapa 36 anggota DPRD ikut menerima uang.

Khairudin berkilah hanya menerima RP 650 juta pada pencairan Rp 19,7 miliar. Sisanya dibagikan ke anggota DPRD masing-masing Rp375 juta, Basran (Rp 875 juta), Samsuri (Rp 850 juta), Khairudin (Rp 3,45 miliar), dan Fatahan Junaidi (Rp 375 juta).

Sakitnya Syaukani diakui humas RSPP Titik Wahyuni. Melalui telepon, Titik menyebutkan Syaukani menjalani rawat inap di ruang VVIP lantai 6. Titik menolak jenis penyakit yang diidap bekas pria yang digadang-gadang akan menjadi calon Gubernur Kaltim ini. Informasi yang diperoleh Kaltim Post, Syaukani dirawat sejak 17 November 2008. Selain penyakit lama urat syaraf terjepit di pinggang, Syaukani sempat menjalani operasi tulang belakang. Beberapa penyakit seperti hipertensi juga diidap Syaukani.(pra)
Kaltimpost 29 Desember 2008

JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan anggota DPRD Kukar, Khaerudin turut dijadikan tersangka dalam kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) Kukar senilai Rp 29,5 miliar selama tahun 2005-2006.

Perintah ini disampaikan langsung Ketua Majelis Hakim Moerdiono, saat menyidangkan terdakwa Ketua Komisi II DPRD Kukar, Setia Budi, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (11/12). Moerdiono meminta setelah mendengarkan kesaksian Budi Aji (rekanan) yang mengaku mendapatkan proyek alat komunikasi dan keamanan anggota DPRD Kukar senilai Rp 3,5 miliar, berkat peranan Khaerudin.

"Khaerudin ini statusnya apa?" tanya hakim Moerdiono. Kemudian dijawab Jaksa Zet Tadung Allo dengan, 'Statusnya saksi.' "Itu sudah (Khaerudin) bisa ditingkatkan statusnya," kata Moerdiono. "Saat ini masih proses pengembangan di KPK," ujar Zet menjawab. "Kalau terkait, ya harus diproses," kata Moerdiono dengan tegas. Saat sidang kemarin, JPU menghadirkan tiga saksi yakni mantan bendahara Bansos, Ari Junaidi, Wakil Ketua Panitia Anggaran (Panggar) Pemkab Kukar sekaligus Ketua Bappeda Kukar, Fathan Junaedi, dan Budi Aji.

Budi Aji mengaku mendapat Rp 3,5 miliar dari dana Bansos. Awalnya, dirinya hanya menjalankan proyek pengadaan komputer yang didapat Khaerudin, dan waktu itu dirinya berperan sebagai penagih. Pada tahun 2005, dirinya dipanggil Ketua Kadin yang waktu itu dijabat Setia Budi. Saat menghadap Setia Budi, dirinya disodori berkas oleh Khaerudin dan ditugaskan untuk mendatangi Bendahara Bansos Siti Aidi.

Berkas tersebut lalu dicairkan Rp 3,5 miliar setelah ditandatangani Siti Aidi. "Kata Khaerudin nggak apa-apa," kata Budi Aji. Ia lalu mencairkan Rp 1,2 miliar dari BPD Kaltim. Setelah menghubungi Khaerudin, Budi disuruh mentransfer ke beberapa rekening seperti BCA milik Setia Budi sebesar Rp 300 juta, rekening BNI milik Subiyakto Rp 300 juta, rekening BNI milik Setia Budi Rp 100 juta dan rekening BNI milik Setia Budi Rp 400 juta.

Pencairan kedua sebesar Rp 2,3 miliar. "Semuanya ditransfer ke rekening BNI atas nama Setia Budi," ujar Budi. Ketika ditanya pertanggungjawabannya, Budi mengaku tidak tahu. Sedangkan Ari Junaidi pada tahun tahun 2006 mengaku menjabat bendaharawan Bansos. Ketika itu dirinya mengaku mencairkan Rp 5,5 miliar karena ada permohonan dari anggota DPRD Kukar Edy Mulawarman. "Pencairan setelah ada persetujuan Pak Basran," ujar Ari.

Uang tersebut katanya untuk bantuan bagi lembaga Banteng Mahakam. Namun setelah dicek, hanya Rp 500 juta yang dipergunakan untuk Banteng Mahakam. Sebagai pertanggungjawaban maka dibuatlah 16 proposal fiktif.  Saat bersaksi, Fathan saling berbantahan dengan Setia Budi. Fathan mengaku tidak pernah menerima uang ataupun cek dari Setia Budi senilai Rp 375 juta. Namun Setia Budi mengatakan telah menyerahkan travel cek senilai Rp 375 juta. (persda network/yls)
Tribun Kaltim 11 Desember 2008

JAKARTA - Pengadilan Tipikor kembali menyidangkan (Plt) Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Samsuri Aspar dalam kasus Bansos, Kamis (11/12). Hadir sebagai saksi adalah Kepala Tata Usaha (TU) DPD Partai Golkar Kukar dan pihak swasta yakni Boyke Andrea Noriza alias Ica, serta Wakil Ketua Panggar Pemkab Kukar, Fathan Junaedi.

Ica sebagai kuasa CV Sinar Perkasa mengaku membuat proposal untuk pengadaan alat band untuk 18 kecamatan se-Kukar senilai Rp 5,5 miliar lewat program Gerbang Dayaku Band (GDB). Proposal tersebut lalu diajukan ke Pemkab Kukar melalui Khaerudin yang menjanjikan akan dimasukan dalam anggaran.

Namun setelah Anggaran Biaya Tamhahan (ABT) disahkan, anggaran untuk Band tidak masuk.  Khaerudin lalu mengusahakan dana yang kemudian dicarikan dari dana Bansos Pemkab Kukar. Setelah mendapat disposisi dari Samsuri Aspar dan Asisten IV Basran Yunus, bendahara Bansos, Siti Aidi, mencairkan dana sebesar Rp 5 miliar.

Namun yang bisa dicairkan hanya Rp 4,05 miliar. "Yang digunakan untuk Band Rp 1,5 miliar  kata Ica dalam persidangan. Sisanya, uang Rp 1,153 miliar untuk uang kas dan operasional Rp 25 juta. "Sedangkan sisanya Rp 950 juta dipinjam Samsuri melalui ajudannya Syahyani," ujar Ica. Namun saat diberi kesempatan menanggapi keterangan Ica, Samsuri membantah. "Saya hanya pinjam untuk keperluan operasi jantung. Tapi darimananya, saya nggak tahu," kata Samsuri.  (persda network/yls)
Tribun Kaltim 12 Desember 2008

Syaukani dan Bachtiar Effendi Bakal Jadi Saksi

JAKARTA - Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi meminta KPK segera memutuskan status hukum Khairudin dalam kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Anggota DPRD Kukar asal Partai Golkar itu, dinilai berperan aktif membantu terdakwa Setia Budi dan Samsuri Aspar memperoleh dana bansos hampir Rp 30 miliar.

Sikap KPK terhadap posisi Khairudin dalam kasus bansos itu diminta hakim ketua Murdiono saat memimpin persidangan atas diri Setia Budi, Kamis (11/12).  “Kalau memang terkait harus diproses. Memungkinkan jadi tersangka, ya ditingkatkan jika sebelumnya hanya saksi,” sebut Murdiono pada ketua tim jaksa Zet Tadung Allo.

Menjawab pertanyaan hakim, Zet membenarkan dalam kasus ini faktanya Khairudin memang pelaku aksi korupsi yang berlangsung selama 2005-2006 itu. Dia bahkan mengatakan, ada beberapa saksi lain yang keterlibatannya sama kuat dan kini tengah dibidik penyidik KPK. Tapi karena masih dalam proses penyidikan, Zet mengaku tak punya kewenangan menyebutkan apakah sudah ada tersangka baru. Kecurigaan keterlibatan Khairudin muncul di benak Murdiono selepas mendengar keterangan saksi Budi Aji. Pria yang kesehariannya bekerja sebagai kontraktor ini, mengaku dilibatkan oleh Khairudin saat tengah nongkrong di sekretariat Kadin, Tenggarong.

“Saya dipanggil Khairudin supaya ke ruang kantor ketua Kadin (Setia Budi). Di situ, di depan Setia Budi, saya disodori berkas supaya mencairkan uang ke Siti Aidi (bendaharawan bansos, Red.),” sebut Budi Aji, menceritakan kejadian yang berlangsung pada 2005 itu. Permintaan Khairudin tak langsung disetujui. “Hampir dua jam saya berpikir, kata Khairudin nggak apa-apa,” ungkap pria berkacamata minus ini.

Akhirnya, atas perintah Khairudin, Budi Aji bertemu dengan Siti Aidi di Bank Pembangunan Daerah Kaltim cabang Tenggarong. Siti Aidi kemudian menyerahkan uang tunai Rp 1,2 miliar. Atas perintah Khairudin, uang tersebut ditransfer ke rekening BCA dan BNI milik Setia Budi. Seorang pria bernama Subiyakto, lanjut Budi Aji, juga menerima transfer senilai Rp 300 juta, yang belakangan diketahui uang bansos. Masih atas perintah Khairudin, di tempat yang sama, keduanya beberapa hari kemudian juga bertemu. Kali ini yang dicairkan sejumlah Rp 2,3 miliar.

Menurut Budi Aji, atas perintah Khairudin uang itu seluruhnya ditransfer ke rekening Setia Budi. Dari total Rp 3,5 miliar, Budi Aii mengaku mendapat Rp 30 miliar dari Khairudin. Hingga tadi malam, Khairudin belum bisa dimintai tanggapannya. Tiga nomor HP Khairudin seluruhnya tak aktif. Namun di beberapa kali pertemuan di Tenggarong dan kesaksian di pengadilan Tipikor, pekan lalu, Khairudin mengaku siap jika diminta pertanggungjawaban oleh KPK.

Selain Budi Aji, saksi lain yang dimintai keterangan adalah bendaharawan bansos pada tahun 2006 M Ari Junaidi dan Ketua Bappeda Kukar Fathan Junaidi. Ari banyak ditanya soal pencairan bansos Rp 5,5 miliar untuk Banteng Mahakam. Menurut Ari, sebelum dicairkan ke Edy Mulawarman, dia sempat mengonfirmasi pada Fathan apakah alokasi dananya dianggarkan dalam bansos 2006. Fathan kala itu membenarkan, tapi setelah dananya cair pernyataannya itu berubah bahwa dana yang dialokasikan hanya Rp 500 juta.

Perubahan keterangan juga dilakukan Fathan saat ditanya hakim soal penerimaan uang bansos Rp 375 juta dari Setia Budi. “Seingat saya, saya tak pernah terima uang sejumlah itu,” katanya, meski hakim sudah mengingatkan bahwa hukuman 7 tahun bisa dijeratkan bila terbukti memberikan keterangan palsu.
Sebaliknya, menurut Setia Budi, pada Oktober 2007, dia sempat mendatangi Fathan agar mengembalikan uang Rp 375 juta itu. Pengakuan Setia Budi, Fathan termasuk pejabat yang kecipratan bansos selain Samsuri dan mantan Asisten IV Pemkab Kukar Basran Yunus.

UNTUNG RP 2 M

Untuk persidangan Samsuri, Zet banyak menggali informasi soal pencairan bansos Rp 5 miliar untuk pengadaan alat band. Tiga saksi, yakni kepala tata usaha DPD Golkar Kukar, kuasa usaha CV Sinar Perkasa Boyke Andre Noriza alias Ica, serta Fathan Junaidi diminta agar bersaksi di depan majelis hakim diketuai Teguh Hariyanto. Sayuti menjelaskan, pengadaan alat band di 18 kecamatan itu, awalnya muncul setelah dia menerima permohonan proposal dari Aji Suriansyah, pimpinan Partai Golkar tingkat kecamatan di Sebulu.

Permohonan ini kemudian dikonsultasikan pada Ica yang kala ditunjuk oleh pimpinan Golkar tingkat kecamatan sebagai koordinator pengadaan. “Setelah dikonsultasikan dengan beliau (terdakwa Samsuri), nama Golkar nggak disebutkan. Kita ganti jadi Gerbang Dayaku Band (GDB),” jelas Ica.
Setelah mendapat persetujuan Basran unus dan Samsuri –waktu itu Wakil Bupati—tak berapa lama kemudian Ica mendapat uang panjar senilai Rp 25 juta. Uang itu digunakan Ica untuk biaya survei pencarian alat band ke Jakarta. Dari 9 kali pencairan, diakuinya, sekali di antaranya diserahkan pada Samsuri senilai Rp 950 juta.

“Pencarian terakhir uangnya dipinjam oleh Pak Samsuri,” ujar Ica. Sedangkan pengadaan alat band sebenarnya menghabiskan Rp 1,153 miliar, ditambah biaya untuk pengelola GDB di 18 kecamatan masing-masing senilai Rp 25 juta. Ica sendiri mengaku mendapat Rp 2 miliar yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Sedang Samsuri mengaku uang Rp 950 juta dipinjam ke Ica untuk biaya pengobatan jantung yang sejak lama diidapnya.

Pekan depan, dijadwalkan giliran mantan Bupati Syaukani HR akan dihadirkan sebagai saksi. Menurut Zet, Syaukani akan ditanya soal ada tidaknya pelimpahan wewenang disposisi bansos yang selama ini dilakukan Samsuri. Selain Syaukani, mantan Wakil Ketua DPRD Bachtiar Efendi dan Joyce Lidya dijadwalkan dipanggil. Karena berkasnya dipisah (split), Setia Budi akan jadi saksi Samsuri, juga sebaliknya.(pra/yus)
Kaltimpost 12 Desember 2008

Selasa, 28 Juli 2009

Kuncinya Jujur, Ikhlas, dan Teliti

Bupati Marthin Billa

BUPATI Malinau Marthin Billa ternyata tidak mengetahui adanya penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BKP) yang menyebutkan hanya pemerintahan Kabupaten Malinau yang “bersih” dalam mengelola keuangannya dibanding kabupaten dan kota se-Kaltim.  “Kalau itu benar, patut kita syukuri. Karena prestasi ini akan semakin memotivasi kita untuk meningkatkan kinerja paratur pemerintah yang lebih baik,” kata Marthin saat dihubungi via selulernya malam tadi. Keberhasilan tersebut, kata dia, tidak terlepas dari ketelitian dan kejelian bagi setiap aparatur dalam penyusunan perencanaan, tertib penggunaan anggaran hingga realisasi sesuai dengan ketentuan yang ada. Yakni dengan menerapkan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) yang efektif, efisien, dan tepat sasaran yang meliputi input, proses, output dan outcome. “Jangan sampai ada penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan anggaran yang dapat merugikan dan menghambat pembangunan di daerah,” ujarnya.

Untuk mencapai itu semua, Pemkab Malinau juga melakukan berbagai pembinaan dan mengikutsertakan para pegawai dalam berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan (Diklat) sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya, baik di dalam maupun di luar daerah. Kemudian melakukan sosialisasi mengenai penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan anggaran dan dampak serta kerugian yang ditimbulkan dengan menjalin kerja sama dengan BPK, kejaksaan, maupun aparat lainnya.  Semua itu dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan, kompetensi serta pemahaman dan wawasan terhadap pegawai. “Tetapi yang paling utama adalah bekerja dengan jujur, ikhlas, teliti, dan penuh tanggung jawab,” sebutnya.

Sekadar diketahui, pada tahun 2008 ini Anggaran Pendapatan dan Delanja Daerah (APBD) Kabupaten Malinau tembus Rp 1,454 trilun dan telah ditetapkan akhir Desember 2007. Masalah penetapan anggaran ini lebih cepat karena sudah diproses sejak Juni dan ditargetkan harus disahkan pada Desember akhir 2007.
Penetapan lebih cepat ini, lanjut Marthin, karena adanya kerja sama yang sangat baik antara DPRD dengan Pemkab Malinau dalam pembahasan anggaran. Ini bukan juga karena adanya seruan dari Menteri Keuangan untuk mempercepat proses penetapan anggaran. Tetapi memang ini sudah diprogramkan oleh kedua belah pihak (DPRD dan Pemkab) dan prosesnya sudah berjalan sesuai dengan tahapan dan ketentuan yang ada.

Dalam menjalankan program pembangunan di Malinau, Marthin menancapkan tiga pilar utama, yakni peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur, dan pertanian arti luas, kemudian ditambah lagi dengan program pembangunan perbatasan dan konservasi. Model pembangunan yang digalakkan yakni Gerakan Pembangunan Desa Mandiri (Gerbang Dema) yang lebih difokuskan pada pemberdayaan masyarakat dalam mencapai kemandirian dan sejahtera yang ditargetkan pada tahun 2011 terpenuhi.(ida/kpnn)

Kaltimpost 21 November 2008

Minggu, 26 Juli 2009

Pengelolaan Keuangan Kaltim Buruk

Kecuali Malinau, Laporan Keuangan Tidak Wajar

 BALIKPAPAN - Seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Kaltim, kecuali Kabupaten Malinau, memiliki laporan keuangan yang tidak wajar. Hal ini sebagai imbas dari lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang mengelola anggaran. Demikian diungkapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Anwar Nasution dalam jumpa pers di Hotel Grand Senyiur Balikpapan, Kamis (20/11) siang kemarin. Ia mengatakan, hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan daerah tahun 2007 mencatat, seluruh daerah di Kaltim dinyatakan tidak wajar, kecuali Kabupaten Malinau. Itupun dinyatakan tidak memberikan pendapat (TMP) atau disclaimer opinion.

Artinya, kata Anwar, sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah di Kaltim sangat buruk. Padahal, kata dia, Kaltim ini sangat kaya. Sehingga cukup memalukan jika masih saja ada oknum pemerintah yang memanfaatkan keuangan ke arah yang tidak semestinya. “Kaltim harusnya malu dengan Gorontalo, daerah miskin yang hanya mengandalkan pertanian untuk hidup. Tapi laporan keuangannya dinyatakan wajar tanpa pengecualian. Saya sangat kecewa dengan Kaltim,” ungkapnya.

Akibat buruknya pengelolaan keuangan ini, kata Anwar, tidak heran jika banyak daerah di Kaltim ini disebut kaya, tapi rakyatnya tidak merasakan apa-apa. Sebagai contoh, lanjutnya, Kutai Kartanegara (Kukar). Uangnya, kata Anwar, hanya dinikmati untuk kepentingan pihak tertentu.

“Jadi wajar juga kalau bupati dan wakilnya kini ditahan. Bahkan gubernurnya juga sudah ditahan. Perlu diketahui, Bupati Kukar dan wakilnya masuk penjara karena temuan BPK,” bebernya.
Seperti diketahui, Gubernur Kaltim Suwarna AF dihukum 4 tahun karena terbukti korupsi. Bupati Kukar Syaukani HR juga terjerat korupsi dan divonis 6 tahun penjara. Sekarang Wabup Kukar Samsuri Aspar diadili dalam kasus dugaan manipulasi bantuan sosial (bansos) bersama anggota DPRD Kukar Setia Budi.  Anwar menegaskan, kehadiran BPK bukan untuk menghakimi, tapi semata-mata untuk mendorong agar tercipta transparansi pengelolaan keuangan daerah, sehingga bermanfaat bagi pembangunan.

Apa saja faktor yang menyebabkan ketidakwajaran dalam laporan BPK terhadap keuangan pemerintah daerah di Kaltim? “Pertama, SDM yang masih lemah. Kedua, sistem yang dibangun terbilang kacau, dan teknologi komputersisasi administrasi keuangan masih minim,” sebutnya.

Meski demikian, Anwar mengatakan, seluruh laporan tidak wajar tersebut sementara ini belum mengarah ke dugaan penyelewengan keuangan yang berbuntut proses hukum. “Sampai saat ini masih Kukar yang kita hadapkan dengan hukum. Yang lainnya belum mengarah ke sana (proses hukum,Red),” tuturnya.  Pada kesempatan itu, Anwar juga mengatakan transparansi dan akuntabilitas keuangan pemerintah daerah secara nasional dalam periode tahun 2004 hingga 2007, kian memburuk. Indikatornya ialah pemberian opini tidak wajar dari BPK untuk laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) meningkat dari 3 persen di tahun 2004 menjadi 19 persen di tahun 2007. Sementara opini tidak memberikan pendapat juga naik dari 2 persen jadi 17 persen untuk periode yang sama. Sebaliknya, opini wajar tanpa pengecualian menurun dari 5 persen jadi 1 persen.

Sesaat sebelum jumpa pers, Anwar menjadi pembicara dalam dialog publik antara BPK RI dan Pemprov Kaltim. Acara itu dihadiri sejumlah kepala daerah, mulai Pj Gubernur Tarmizi Abdul Karim, wali kota, bupati dan wakil bupati, serta para muspida Kaltim. Termasuk pula pejabat dari Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur.

Dalam dialog publik bertajuk Mendorong Terciptanya Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara/Daerah itu pukul 09.00 hingga 14.00 itu, juga menampilkan pembicara Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Ir Timbul Pudjianto MPM, serta perwakilan dari Departemen Keuangan.

POLITISASI JABATAN

Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI Asmawi Rewansyah berpendapat, jeleknya pelaporan keuangan Kaltim merupakan akibat posisi strategis di pemerintahan yang dipolitisasi menjadi jabatan politik.  “Jabatan seperti gubernur dan kepala daerah kini bukan lagi jabatan pemerintahan, tapi jabatan politik. Akibatnya, bisa diisi oleh orang yang tak kompeten. Hasilnya, ketika berkuasa uang negara akan dikeruk untuk kepentingan pribadi atau mengembalikan dana kampanye. Kasus ini sudah sering terjadi,” ujarnya saat melakukan kunjungan ke Samarinda beberapa waktu lalu.

Karena itu, ia tak heran bila ada gubernur atau kepala daerah yang dipenjara karena terbukti laporan keuangannya bermasalah atau terindikasi korupsi. “Ini yang mau kami cegah. Makanya tahun depan, kami akan bentuk aturan ada audit kepala daerah. Bila tak sesuai kompetensinya, maka hanya setahun ia menjabat. Setelahnya, akan digantikan dengan orang yang lebih kompeten dan sesuai. Memang harusnya demikian,” tegasnya.

Pj Gubernur Kaltim Tarmizi Karim juga mengakui demikian. Masalah-masalah yang timbul di Kaltim, terutama di pemerintahan memang sangat erat hubungannya dengan sumber daya manusia (SDM).
“SDM di Kaltim memang belum memenuhi syarat. Terutama di pemerintahan. Memang banyak yang kompeten, tapi lebih banyak lagi yang tidak kompeten. Ini menjadi permasalahan utama dan perlu pembenahan secara serius dan total. Penilaian buruk terutama menyangkut laporan keuangan jelas sudah terbukti,” ujarnya.

Idealnya, menurut pengamat ekonomi Kaltim Irwan Gani, pemerintah harus melakukan perombakan total atas manajemen keuangan yang ada, terutama dalam masalah SDM. “Masalah keuangan harus diselesaikan SDM yang paham keuangan. Kondisi saat ini, urusan keuangan ditangani SDM yang tak jelas kompetensinya. Misalnya, oleh lulusan pertanian atau hukum, jelas tak nyambung. Harusnya, dari kompetensi yang sesuai seperti ekonomi atau akuntansi,” ujarnya. “Laporan keuangan yang ditangani orang yang tak kompeten, maka akan berpotensi disalahgunakan. Karena mereka merasa bisa melakukan penipuan. Setelah dicek orang yang mengerti keuangan, maka akan timbul pertanyaan dan penilaian buruk,” tambahnya.(lhl/*/che)
Kaltimpost 21 November 2009

Kamis, 23 Juli 2009

Hardi Didakwa Tiga Pasal Korupsi

TENGGARONG, RABU - Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kutai Kartanegara (Kukar) M Hardi didakwa pasal berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong, Rabu (26/11). Setidaknya, ada tiga pasal yang didakwakan kepadanya.

Hardi menjadi terdakwa dalam kasus ini karena diduga melakukan korupsi dana Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kukar tahun 2007 yang merugikan negara hingga Rp 19,3 miliar. Selain Hardi, Bendahara Penerima Pendapatan BPKD Kukar Muhammad Nur juga menjadi terdakwa dalam kasus ini.

JPU Fajar yang membacakan surat dakwaan mengatakan, dalam dakwaan primair, Hardi diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 junto Pasal 18 Undang-undang (UU) No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah UU No 20 Tahun 2001--yang merupakan perubahan dari UU No 31 tahun 1999--tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pasal 55 ayat 1. Kemudian, dalam dakwaan subsidair dan lebih subsidair, Hardi dianggap melanggar pasal 3 dan 8 junto pasal 18 UU yang sama dengan dakwaan primair.

Dakwaan itu dibacakan kurang lebih selama satu jam secara bergantian oleh JPU. Setelah mendengarkan dawaan, Ketua Majelis Hakim Sunaryo Wiryo SH yang didampingi anggotanya, Bambang Mulyono SH dan Imam Lukman Hakim SH MH, lalu meminta tanggapan Hardi atas dakwaan yang telah dibacakan. Saat ditanya hal itu, Hardi yang mengenakan baju hem biru garis- gari dan celana panjang hitam lalu menoleh ke kedua pengacaranya, Nasrun Mu'Min SH, MH, MM dan Sabriadi Syaruddin SH.

Ia kemudian berdiskusi selama beberapa menit dengan kedua pengacaranya. Setelah beberapa menit, melalui Nasrun, Hardi menyatakan menerima dakwaan JPU tersebut. Sunaryo kemudian menawarkan waktu sidang berikutnya dengan agenda mendengarkan saksi-saksi yang dihadirkan oleh JPU. Sidang akan dilanjutkan pada Senin (1/12) dan Jumat (5/12). (reo)
Tribun Kaltim 26 November 2009

Senin, 20 Juli 2009

Syaukani Ajukan PK

JAKARTA - Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) akhirnya ditempuh mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hassan Rais untuk melawan putusan 6 tahun penjara yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA). Menurut jaksa KPK Agus Salim, Senin (11/2), bukti baru (novum) yang diajukan Syaukani adalah adanya perbedaan pertimbangan hukum antara putusan kasasi Syaukani tertanggal 28 Juli 2008, dengan putusan inkracht --berkekuatan hukum tetap-- selama 18 bulan penjara Pengadilan Tipikor tahap pertama, terhadap mantan Bupati Minahasa Utara Vonnie Anneke Panambunan.

Syaukani terbukti melakukan 4 korupsi, di mana satu di antaranya melibatkan Vonnie, yakni kasus korupsi studi kelayakan proyek pembangunan Bandara Kutai-Samarinda (Loa Kulu). Selain beda lama hukuman, Syaukani mempertanyakan kenapa hakim di tingkat Tipikor pertama dan banding justru menjatuhkan hukuman lebih ringan selama 2,5 tahun dibanding 6 tahun penjara pada tahap kasasi.

MA juga beda pandangan soal pasal yang dilanggar dari Pasal 3 (subsider) menjadi dakwaan primer, Pasal 2 ayat 1 UU Korupsi No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Novum lain, lanjut Agus, pemohon PK (Syaukani) berpendapat tak ada kerugian negara dari seluruh kasusnya. Alasannya, keempat kasus yang membelit Syaukani: penerbitan SK Bupati soal pembagian uang perangsang, penyelewengan dana bantuan sosial, studi kelayakan Bandara Loa Kulu, dan penyalahgunaan APBD Kukar untuk pembebasan lahan Bandara Loa Kulu --total kerugian sekira Rp 120 miliar-- dinilai tak terjadi penyimpangan alias tak menimbulkan kerugian negara. Menurut pengacara pemohon, tambah Agus, hal ini dikuatkan dengan hasil audit berkala BPKP maupun Bawasda Kaltim.

Agus yang juga jaksa kasus Syaukani maupun Vonnie, menilai 2 pertimbangan hukum yang dijadikan novum tersebut tidaklah kuat. "Bukan hal baru. Soalnya itu semuanya sudah diuji di persidangan tahap pertama dan banding. Jadi nggak ada yang baru," katanya. Ditambahkannya, sidang PK Syaukani mulai digelar sejak Selasa pekan lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dijadwalkan, Selasa (2/12) hari ini, sidang dilanjutkan dengan materi mendengar keterangan saksi dari pemohon PK.

Hakim Moefri, Teguh Hariyanto dan Moerdiono, yang juga merupakan majelis hakim Tipikor, bertindak selaku pengadil. Belum ada keterangan resmi terkait hal ini dari Syaukani maupun pengacaranya. Syaukani tak kunjung mengangkat telepon saat dihubungi tadi malam. Sedangkan pengacaranya, Dodi, mempersilakan Kaltim Post mengikuti jalannya persidangan.

Syaukani dijatuhi hukuman lebih berat lewat majelis hakim diketuai Bahaudin Qaudri dengan anggota Artijo Alkostar, Odjak Parulian Simanjuntak, Leo Hutagalung, dan Sofian Martabaya. Selain penjara 6 tahun, Syaukani yang kini dipenjara di Lapas Cipinang tersebut diwajibkan membayar uang pengganti Rp 49,3 miliar, di mana jika dalam sebulan setelah inkracht tak dilunasi, maka hukuman badan ditambah 3 bulan. Denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan juga wajib dibayar Syaukani.(pra)
Kaltimpost 2 Desember 2008

Sabtu, 18 Juli 2009

Kukar Harus Reformasi Anggaran

TENGGARONG, SELASA - Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar) harus mereformasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang selama ini dibuat. Reformasi anggaran ini perlu dilakukan agar APBD yang jumlahnya sangat besar, Rp 4,9 triliun dapat dirasakan oleh masyarakat.  "Logikanya, anggaran besar itu harusnya makin enak. Asal, anggaran itu dirasakan oleh masyarakat. Tapi, selama ini tidak seperti itu. Karena itu, pemerintah daerah harusnya, tidak hanya melakukan reformasi birokrasi, tapi juga reformasi anggaran," kata Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Kartanegara (Unikarta), Prof Iskandar saat Bincang Kutai yang digelar di Hotel Singgasana, Selasa (25/11). Acara yang digagas oleh LSM Fajar itu juga menghadirkan Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Kukar, M Aswin dan Ketua DPRD Kukar, Salehuddin sebagai pembicara.

Iskandar lalu menuturkan, reformasi anggaran itu dapat dilakukan dengan menerapkan Analisis Standar Belanja (ASB). Dengan menerapkan pola-pola seperti ini, semua kegiatan di berbagai dinas memiliki standar yang jelas. Tak akan ada lagi perbedaan anggaran kegiatan, misalnya pelatihan, antara satu dinas dengan dinas lainnya.  "Orang tidak bisa main-main lagi dalam menyusun anggaran. Karena pedomannya jelas. Orang yang menyusun anggaran pun punya argumen ketika ditanya mengapa dia menganggarkan dana sebesar itu untuk suatu kegiatan," ujarnya.

Menurut Aswin, ASB itu sebenarnya sudah ada sejak tahun 2002. Tapi tidak pernah digunakan oleh Pemkab Kukar dalam menyusun anggarannya.  "Dulu sering ada kata-kata mark up anggaran (menggelembungkan anggaran). Ini terjadi karena tak ada dasarnya dalam menyusun anggaran. Saat ini, kita sudah mencoba menggunakan ABS. Walaupun hanya baru 20 kegiatan saja, tapi nantinya akan kita kembangkan hingga ratusan," ujarnya. Standar belanjar itu menurut Aswin hingga menyangkut pembelian berapa harga kertas satu rim, ballpoint, satu sak semen, satu sak beras, mobil dinas dan lainnya yang disusun berdasarkan standar pemerintah.

Iskandar kemudian menambahkan, reformasi anggaran tidak hanya menyangkut penggunaan ABS, tapi juga keberpihakan APBD terhadap sektor-sektor yang berkaitan dengan masyarakat, misalnya pertanian dalam arti luas, kemiskinan dan pelayanan publik. Menanggapi hal itu, Aswin berjanji akan mengalokasikan dana lebih kepada sektor pertanian. Ia juga menjelaskan, alokasi dana yang besar di Dinas Pekerjaan Umum (PU), bukan berarti tidak menunjang sektor pertanian.

"Ketika jalan yang menghubungkan Tabang dan Tenggarong jadi, maka hasil-hasil sektor pertanian akan lebih mudah didapatkan. Biayanya juga jauh lebih murah dan cepat dibandingkan harus menggunakan jalur sungai," ujarnya. Alokasi dana untuk ketiga sektor itu mendapat respon baik dari Salehuddin. Menurutnya, sektor pertanian merupakan salah satu prioritas pembangunan di Kukar. Namun, sektor ini selalu luput dari perhatian eksekutif dan legislatif. Padahal, rencana pembangunan jangka menengah dan panjang Kukar meletakkan sektor pertanian sebagai prioritas utama.

"Tahun ini, anggaran untuk pertanian itu tidak sampai 1 persen. Kalau melihat hal itu, memang kita patut pertanyakan niatan kita dalam mendukung sektor pertanian. Tahun depan, kita harus memberikan anggaran yang lebih besar di sektor ini," ujarnya. Iskandar menambahkan, sektor pertanian memberikan sumbangsih sebesar 30 persen dari pendapatan Kukar. Kemudian, menyerap tenanga kerja yang jauh lebih banyak dari sektor pertambangan. (reo)

Diduga Ikut Menerima Bagian Dana Bansos

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengintensifkan pengembangan penyidikan kasus dugaan korupsi di Kabupatean Kutai Kertanegara yang melibatkan Plt Bupati Kukar (non aktif) Samsuri Aspar dan Ketua Komisi II DPRD Kukar Setia Budi. Tim penyidik KPK kini terus menelusuri dan bakal memeriksa 39 anggota DPRD Kukar yang diduga turut menikmati aliran dana bantuan sosial (Bansos) APBD Kukar senilai Rp 23,134 miliar.

"Jika memang dalam dakwaan di persidangan terungkap nama-nama lainnya, hal itu akan menjadi petunjuk bagi KPK untuk melakukan pengembangan penyidikan lebih lanjut. Tentunya akan memintai keterangan terhadap mereka (39 anggota DPRD)," kata Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Riyanto, Selasa (11/11). Menurut Bibit, fakta apapun, baik itu di persidangan maupun luar persidangan tetap menjadi petunjuk untuk melakukan penyidikan. "Tetapi tidak untuk menjadi alat bukti. Fakta di persidangan itu semuanya masih bersifat dugaan," katanya.

Fakta baru di persidangan Samsuri Aspar dan Setia Budi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Senin (10/11), mengungkapkan selain mereka berdua yang menikmati dana bansos APBD Kukar itu, masih adalagi anggota DPRD lainnya yang turut menikmati. Seperti disebutkan dalam dakwaan, dana senilai Rp 23,134 miliar itu ternyata dibagi-bagikan kepada 39 anggota DPRD. Seperti diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Zet Tadung Allo, Wakil Bupati Kukar semasa Syaukani HR ini bersama terdakwa Setia Budi terbukti memerkaya diri sendiri dan orang lainnya sehingga merugikan negara.
Keduanya didakwa dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara. Dakwaan ini disesuaikan dengan isi pasal 2 ayat 1 junto pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah menjadi UU 20/2001 junto pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP, dan pasal 3 junto pasal 18 UU 31/1999 junto pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.

Disebutkan Zet, Samsuri mendapatkan bagian Rp 1,950 miliar sementara Setia Budi Rp 1,775 miliar. Sisanya dibagikan kepada Khairudin Rp 2,5 miliar, Basran Yunus Rp 375 juta, Fathan Djoenaidi Rp 375 juta, Boyke Andre Noriza Rp 3,034 miliar. Sedangkan 35 anggota DPRD Kukar lainnya masing-masing menerima Rp 375 juta.

Menanggapi ini, Bibit menyatakan, semua fakta persidangan itu masih sebatas dugaan dan petunjuk bagi penyidik. Pihaknya membutuhkan bukti-bukti yang saling melengkapi dan benar- benar mengungkapkan keterlibatan nama-nama yang telah disebutkan di persidangan.

"Tidak serta merta menjadi seseorang itu tersangka. Harus ada proses dan prosedur hukum. Intinya KPK akan melakukan penyidikan dan bertindak profesional. Penyidik akan terus menelusuri kasus ini hingga ada fakta-fakta hukum yang bisa dijadikan bukti," kata Bibit. (persda network/ndr)

Bagi-bagi Uang Bansos Kukar
* Samsuri Aspar (Plt Bupati Kukar): Rp 1,950 miliar
* Setia Budi (Ketua Komisi II): Rp 1,775 miliar
* Khairudin (anggota): Rp 2,5 miliar
* Basran Yunus (anggota): Rp 375 juta
* Fathan Djoenaidi (anggota): Rp 375 juta
* Boyke Andre Noriza (anggota): Rp 3,034 miliar
* Plus 35 anggota lainnya masing-masing menerima Rp 375 juta

(Sumber: JPU KPK)
Tribun Kaltim 11 November 2009

JAKARTA - Ketua Komisi II DPRD Kutai Kartanegara, Setia Budi, didakwa telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Setia Budi diduga mencairkan dan menggunakan dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2005-2006 pada pos bantuan sosial. "Yang dapat merugikan keuangan negara, yaitu merugikan keuangan keuangan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara sejumlah Rp 29,573 miliar," ujar jaksa penuntut umum, Zet Todung Allo, dalam sidang kasus tersebut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (10/11).

Kasus korupsi ini berawal dari pencairan dana sebesar Rp 3,5 miliar untuk penggantian dana kampanye Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais pada Pilkada 2005 oleh Setia Budi melalui Khairudin. Kemudian, Setia Budi mengajukan disposisi kepada Plt Bupati Kutai Kertanegara, Samsuri Aspar. "Samsuri kemudian menyetujui disposisi tersebut," kata Jaksa. Alasan pencairan karena ada kesepakatan dari legislatif. Jaksa menduga Setia Budi telah mengambil dana senilai Rp 11,278 miliar untuk dirinya sendiri. Dia juga memberikan uang kepada Ketua DPRD Kutai Kertanegara sebesar Rp1 miliar dan kepada 35 anggota DPRD lainnya. "Masing-masing sebesar Rp 375 juta," jelas Zet.

Selain itu, dia juga membagikan uang ke sejumlah orang yang telah membantu mempermulus pencairan dana tersebut. Untuk menutupi perbuatannya, menurut Jaksa, Setia Budi telah membuat dokumen fiktif. Antara lain, dana sebesar Rp 1,95 miliar digunakan kegiatan seni. Sementara sebesar Rp 1,55 miliar digunakan untuk membayar biaya Panitia Festival Mahakam. Selanjutnya, Setia Budi bersama Khairudin (anggota DPRD) mencairkan dana Rp19,7 miliar guna keperluan-keperluan anggota DPRD, di mana Samsuri Aspar juga meminta agar mendapatkan bagian dari dana tersebut.

Menindaklanjuti kesepakatan itu, terdakwa pada November 2005 bersama Khairudin membuat surat tentang permohonan anggaran operasional perjalanan dinas ke dalam dan luar daerah anggota DPRD Kutai Kartanegara yang ditujukan kepada Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara cq Asisten IV Kesejahteraan Masyarakat berupa permintaan dana sebesar Rp18,5 miliar.

Surat tersebut diserahkan kepada Samsuri yang langsung diberi disposisi oleh Plt Bupati Kutai Kartanegara. Terdakwa yang seolah-olah mengatasnamakan DPRD Kutai Kartanegara juga mengajukan permintaan pencairan dana kepada Samsuri. Pencairan ketiga, sebesar Rp 5,5 miliar. Pencairan keempat Rp 493,6 juta dan Rp 985 juta. JPU mendakwanya dengan pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001.
Tribun Kaltim 10 November 2009

Dugaan Korupsi Bansos

JAKARTA - Pada saat mantan Wabup Kutai Kartanegara (Kukar) Samsuri Aspar dan anggota DPRD Kukar Setia Budi menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pada hari yang sama juga berlangsung aksi unjuk rasa oleh sekelompok pemuda di depan gedung KPK. Pengunjukrasa yang mengaku dari Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi Kutai Kartanegara (Kukar) ini, menuntut agar KPK juga menangkap anggota DPRD Kukar, Khairuddin, yang diduga ikut mengorupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos) di Kukar sejak 2001 hingga 2008.

Seperti diketahui, dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, JPU KPK mengungkapkan bahwa Setia Budi bersama-sama Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Kukar Samsuri Aspar diduga telah menyelewengkan dana Pos Bantuan Sosial APBD Kukar 2005-2006 yang selanjutnya digunakan untuk memperkaya diri sendiri dan dibagi-bagikan ke sejumlah orang. Dana hasil penyelewengan tersebut digunakan Setia Budi untuk memperkaya diri sendiri sebesar Rp 11,2 miliar dan dibagi-bagikan kepada Samsuri Aspar Rp 1 miliar, Khairuddin Rp 2,5 miliar, Basran Rp 875 juta, Fathan Djoenaidi Rp 375 juta, dan Edi Mulawarman Rp 420 juta.

Selain itu, dana tersebut juga diberikan kepada 35 anggota DPRD Kukar lainnya yang masing-masing memperoleh sebanyak Rp375 juta. Baik Setia Budi maupun Samsuri Aspar didakwa dengan jenis dakwaan yang sama tetapi menjalani jadwal sidang yang berlainan. Sidang terkait penyelewengan dana Pos Bansos APBD Kukar itu akan dilanjutkan dengan agenda pengajuan saksi oleh JPU pada Rabu (19/11). (IWN/ANT)
Tribun Kaltim 10 November 2008

TENGGARONG - DPRD Kutai Kartanegara (kukar) mengajukan tiga nama sebagai Penjabat (Pj) Bupati Kukar ke Gubernur Kaltim. Tiga nama itu adalah Didi Marzuki, Gufron Yusuf dan Herry Maryadi. Ketiga pejabat tersebut adalah pejabat-pejabat yang selama ini menolak dimutasi. Bahkan mereka menuntut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar hingga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Samarinda untuk mengembalikan posisi mereka ke jabatan semula. Didi Marzuki adalah mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Ia menolak saat dimutasi menjadi Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Sedangkan Gufron, menolak dimutasi menjadi Sekretaris Dewan (Sekwan) dari jabatannya semula Asisten IV Bidang Kesejahteraan Rakyat, Humas dan Protokol Pemkab Kukar. Nama terakhir, Herry Maryadi adalah mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kukar. Ia enggan dipindahkan menjadi Kepala Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD).

Ketua DPRD Kukar, Rachmat Santoso menjelaskan, dipilihnya ketiga orang tersebut karena pertimbangan dua hal. Pertama, ketiganya dinilai mengenal dan mengetahui persoalan di Kukar. Pertimbangan ini, menjadi sangat penting, karena begitu banyak persoalan yang mendera Kukar saat ini. Kedua, ketiganya memiliki komitmen yang tinggi untuk membangun Kukar. "Kami sudah bertemu mereka. Dan mereka memiliki komitmen untuk membangun kabupaten ini saat menjadi Pj Bupati," kata Rachmat, Minggu (26/10). Keputusan dipilihnya ketiga nama tersebut sudah dilakukan oleh DPRD Kukar dalam pertemuan yang dilakukan beberapa waktu lalu. "Saya lupa tanggalnya, kapan kami rapat. Tapi nama-nama itu kami ajukan berdasarkan kesepakatan bersama," tuturnya. Nama-nama itu telah diajukan ke Pj Gubernur Kaltim, Tarmizi Abdul Karim, pada pertengahan Oktober lalu dengan tembusan Presiden RI, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Sekretaris Jendral Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan lainnya.

"Nama-nama ini kami ajukan berdasarkan PP (Peraturan Pemerintah) No 6 tahun 2005 yang diperbaharui PP NO 49 tahun 2008. Dalam kedua peraturan tersebut mengatur, kalau Bupati dan Wakil Bupati berhalangan, maka DPRD Kukar dapat mengusulkan Penjabat Bupati melalui Gubernur," ucapnya. Rachmat tidak menjelaskan sampai kapan Pj Bupati ini akan bertugas. Tapi, salah satu tugas utama Pj Bupati nanti adalah melaksanakan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden yang akan digelar tahun depan. Ia juga menuturkan, kalau sampai saat ini, DPRD Kukar belum menerima Surat dari Mahkamah Agung (MA) mengenai keputusan  berkekuatan hukum tetap Bupati (non aktif), Syaukani HR.

Pertengahan November
Sementara itu, sidang Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Samsuri Aspar, diperkirakan akan digelar pada pertengahan November ini. Saat ini, berkas Samsuri telah dilimpahkan dari Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Jaksa Penuntut Umum (JPU). Samsuri ditahan KPK dalam kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) tahun 2004 dan 2005. Dalam kasus itu, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp 30 miliar.

"Saya dihubungi KPK, katanya sidang kemungkinan digelar pada pertengahan November ini. Dan kami (anggota DPRD) Kukar diminta untuk bersiap menjadi saksi. Namun, hingga saat ini, kami belum mendapatkan surat resmi dari KPK untuk dipanggil menjadi saksi," kata Ketua DPRD Kukar, Rachmat Santoso, Minggu (26/10). Ia  selalu berkoordinasi dengan KPK berkaitan dengan kasus ini. "Kami selalu berkonsultasi dengan KPK, agar saat menjadi saksi, tidak menganggu jalannya pemerintahan di Kukar. Kami nanti dipanggil satu-satu. Tidak langsung bersamaan agar pemerintahan tetap dapat berjalan," ucapnya.

Mengenai pengembalian dana bansos yang diterima anggota dewan, Rachmat menuturkan, pengembalian dana masih sekitar 80 persen atau sebanyak Rp 11 miliar dari Rp 13,5 miliar yang harus dikembalikan. "Kami telah berkomitmen untuk mengembalikan dana ini. Harus diingat, saat kami terima dana bansos ini dari oknum anggota dewan, kami tidak tahu kalau dana tersebut adalah dana bansos," ucapnya. Dana bansos yang diterima tiap anggota dewan adalah sebanyak Rp 375 juta. (reo)
Tribun Kaltim 27 Oktober 2008

Sabtu, 04 Juli 2009

Bansos Seret Tiga Nama

Perkara Syamsuri - Setia Budi Masuk Penuntutan

JAKARTA. Setelah disidik sejak Februari lalu, berkas korupsi dana bantuan sosial (bansos) senilai Rp30 miliar di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) akhirnya dilimpah dari penyidik ke jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelimpahan ditandai dengan penyerahan barang bukti berikut tersangka Plt Bupati Kukar Samsuri Aspar dan anggota Komisi II DPRD Kukar Setia Budi, Senin (20/10) siang, di gedung KPK, Jl HR Rasuna Said.  Sesuai aturan yang ada, menurut Juru Bicara KPK Johan Budi SP, jaksa diberi waktu 14 hari untuk menyusun surat dakwaan. Kemudian melimpahkannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk disidangkan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Yang menarik, surat pelimpahan Samsuri dan Setia Budi mencantumkan keterlibatan 3 nama lain. Mereka adalah anggota DPRD Kukar dari Partai Golkar Khaeruddin, mantan Asisten IV Sekkab Basran Yunus serta Boyke Andrea Noriza alias Ica. Publik Kaltim selama ini lebih mengenal dugaan keterlibatan Khaeruddin sebagai penyalur uang bansos ke puluhan anggota DPRD lain yang nilai per orangnya mencapai Rp375 juta. Sedangkan Basran, terlibat aktif sebagai pengguna anggaran sekaligus orang yang banyak berperan memperlancar disposisi proposal dari pemohon ke Samsuri Aspar, yang kala itu masih menjabat sebagai Wakil Bupati Kukar. Informasi yang didapat KPNN menyebutkan, Ica adalah pemohon sekaligus yang mengkoordinasi proposal pengadaan alat band di 18 kecamatan se-Kukar yang tergabung dalam Gerbang Dayaku Band. Setelah mendapat persetujuan dari Basran, barulah Ica berani menghadap ke Samsuri minta disposisi.

Johan menolak menyebutkan secara tegas bahwa hal ini berarti ketiganya telah resmi menjadi tersangka baru kasus bansos. "Setahu saya baru dua orang itu (Samsuri dan Setia Budi, Red), tapi tak menutup kemungkinan bertambah, sebab penyidikannya terus berjalan," sebut dia. Pencantuman nama Khaeruddin, Basran dan Ica dalam berkas pelimpahan baru diakui oleh penasihat hukum Setia Budi, Dodi. Menurut pengacara mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah ini, ketiganya diduga kuat terlibat kasus bansos. "Ya betul, di berkas pelimpahan tiga nama itu disebut terlibat. Tapi saya nggak tahu apa sudah jadi tersangka," ucapnya.

Sangkaannya, Samsuri dan Setia Budi bersama-sama dengan Khaeruddin, Basran Yunus dan Boyke Andrea Noriza diduga melanggar (primer) Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Dakwaan subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Rencananya, lanjut Johan, dakwaan Samsuri dan Setia Budi dipisahkan (split). Seperti biasa, baik Setia Budi maupun Samsuri lebih memilih diam saat ditanya wartawan soal pelimpahan berkasnya tersebut. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kukar Khairudin yang dikonfirmasi KPMM, enggan berkomentar. "Anda dapat informasi dari siapa? Mohon maaf, saya belum bisa mengomentari," ucap Khairudin di rumahnya yang megah di Jl Kramajaya, Mangkurawang, Tenggarong, Kukar.(pra/eri)
Kaltimpost 21 Oktober 2008

Rabu, 01 Juli 2009

Sudah 7 Pejabat Kukar Di Tahan

Kepala dan Bendahara BPKD Disangka Korupsi Rp 19,3 M

SAMARINDA – Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) yang terkenal dengan APBD-nya terbesar di Indonesia –Rp 5,5 triliun- ternyata banyak menyimpan masalah. Hingga kemarin, sudah 7 pejabat Kukar yang ditahan KPK maupun Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim lantaran korupsi. Kasus terbaru, bobolnya dana Rp 19,3 miliar di Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kutai Kartanegara (Kukar). Kejati menetapkan Kepala BPKD Kukar M Hardi sebagai tersangka. Hardi langsung ditahan bersama Bendahara BPKD Muhammad Noor, setelah menjalani pemeriksaan secara maraton di Kejati) Kaltim, kemarin (19/9) sore.

Pejabat Kukar pertama yang ditahan KPK adalah Bupati Syaukani HR pada 16 Maret 2007 yang terjerat empat kasus penyalahgunaan keuangan negara Rp 120 miliar. Empat kasus itu adalah penyelewengan dana bansos, pembagian bagi hasil migas, penyalahgunaan penggunaan APBD 2003, pembebasan lahan Loa Kulu, serta penunjukan langsung pekerjaan proyek studi kelayakan renana bandara di Kukar. Syaukani yang divonis 6 tahun penjara oleh Mahkamah Agung, kini menjalani hukuman di Lapas Cipinang, Jakarta. Dua pejabat Kukar yang menyusul ditahan KPK adalah Wakil Bupati Kukar Syamsuri Aspar dan Anggota DPRD Kukar Setia Budi. Keduanya yang ditahan 24 Juli 2008 disangka menyalahgunakan dana bantuan sosial (bansos) Rp 19 miliar. Kasusnya kini masih dalam penyidikan.

Sementara di Kejati Kaltim, hingga kemarin ada empat pejabat Kukar yang ditahan, termasuk Hardi dan Mohammad Noor. Pejabat Kukar pertama yang ditahan Kejati adalah dari Disdik yang merangkap Penjabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PTK) Hari Guru di Kukar Naisah Rahman, ditahan pada 26 Agustus 2008 dalam kasus penyalahgunaan dana Hari Guru sebesar Rp 300 juta.  Selanjutnya, pada 11 September 2008, pegawai Disdik Kukar Luther juga ditahan dengan sangkaan korupsi penggunaan dana Rp 234 juta untuk program fiktif berkedok kegiatan diskusi kelompok kepala sekolah.

SITA RP 2 MILIAR
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Kaltim Yuspar menjelaskan, dalam perkara ini diduga terjadi penyimpangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kukar sebesar Rp 19.315.812.000. Dana yang bersumber dari pendapatan lain-lain yang sah itu diduga kuat diendapkan oleh para tersangka. Awalnya, indikasi korupsi ini ditemukan pada aliran hasil pendapatan daerah Kukar 2007. Dana senilai Rp 19,3 miliar itu setelah masuk ke kas bendahara BPKD, seharusnya dalam 1 kali 12 jam setelah dicairkan sudah harus masuk ke kas penerimaan daerah. Namun, setelah beberapa kali dicairkan oleh tersangka, tak sedikit pun dana itu disalurkan ke kas pemkab Kukar.
“Setelah melakukan penyelidikan dan mendapatkan data, selang satu hari langsung kami tingkatkan menjadi penyidikan. Alhasil, terungkaplah kasus ini,” ujar Yuspar, kemarin. Kejati sudah menyita Rp 2 miliar. Dari hasil penyidikan sementara, terungkap dana itu berasal dari setoran tersangka ke kas daerah yang baru Rp 2 miliar. "Jadi masih ada Rp 17 miliar yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum," tambah Yuspar. Dalam masa penyidikan ini, Kejati sudah memeriksa saksi-saksi di lingkup BPKD Kukar. Seperti, Kepala Bidang (Kabid) Pendaftaran dan Pendataan Didi Budiono, Kabid Penagihan H Padlan, Bendahara BPKD Makhid dan Akhmad Noer, Sekretaris BPKD Lina Rodiah, Kepala sub Bagian Keuangan Indrayono, dan Staf Bendahara Aulia Noer.

Berawal dari keterangan saksi-saksi itu, menurut Yuspar, dalam pengembangan penyidikan tak tertutup kemungkinan nantinya merembet ke pihak-pihak terkait. “Pak Hardi dan Muhammad Noor itu kami tetapkan sebagai tersangka, karena mereka berdua yang menandatangani penerimaan uang PAD tersebut,” ujarnya. Menurut Yuspar, kemarin penyidik Kejati Kaltim juga memeriksa 5 saksi dari BPKD dan BPD Kaltim Cabang Kukar. Sekadar diketahui, proses hukum kasus itu terbilang cepat. Setelah terungkap pekan lalu, kejati hanya perlu waktu beberapa hari untuk menaikkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan.

Posisi kasus BPKD ini mirip dengan modus dugaan korupsi dana Asuransi Kesehatan (Askes) di Rumah Sakit (RS) Atma Husada Mahakam (dulu Rumah Sakit Jiwa) Samarinda senilai Rp 3 miliar. Dalam kasus ini, Kepala RS Atma Husada Mahakam Yunni Dwigandhini menarik dana Askes dari rekening RSJ nomor 001.123.9777.9 sejak 27 September hingga 19 Maret senilai Rp 3,307 miliar.  Kesalahannya, Yunni tidak menyetorkan dana itu ke kas daerah seperti yang seharusnya, namun menyimpannya ke rekening pribadi di Bank Bukopin. Kemudian, menutup rekening itu bersama-sama dengan Kabag Tata Usaha Tukimo. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 3 miliar. Tukimo ikut menjadi tersangka karena bersama-sama dengan Yunni menandatangani spesimen penarikan dana dari RSJ. Dalam kasus BPKD Kukar itu, dana yang diterima bendahara Rp 19,3 miliar lebih juga tidak disetor ke kas daerah setelah disetorkan.

BUNGKAM
Sementara itu, para tersangka yang berusaha dikonfirmasi menutup diri. Bahkan, tersangka M Hardi saat keluar dari ruang pemeriksaan menutupi wajahnya dengan sehelai kertas. Beberapa wartawan yang menunggu sejak usai salat Jumat, tidak mendengar satu kata pun keluar dari mulutnya saat menuju mobil tahanan kejaksaan bernomor polisi KT 9066 B yang membawanya ke rumah tahanan negara (Rutan) Samarinda, sekira pukul 17.30 Wita. Pengacara Lorensius dari Kantor Advokad Yosep SK Sabon dan rekan yang mendampingi tersangka menjalani pemeriksaan, kemarin, pun enggan komentar. “Tidak tahu, saya tidak tahu,” tuturnya sambil angkat tangan dan bergegas pergi.

SETELAH LEBARAN
Dari sekira 18 kasus yang ditangani Kejati, ada 5 kasus dugaan korupsi akan dilimpahkan Kejati Kaltim ke pengadilan untuk disidangkan setelah Lebaran. Kelima kasus yang sudah hampir rampung penyidikannya itu adalah yang berhasil diungkap kejati 2008 ini. Kelima kasus itu adalah, Askes di RS Atma Husada Mahakam senilai Rp 3 miliar, kasus Disdik Kukar senilai Rp 300 juta, kasus program fiktif juga di Disdik Kukar senilai Rp 234 juta, kasus traffic light dan marka jalan di Paser senilai Rp 800 juta, dan kasus bantuan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Kutim senilai Rp 658 juta.

“Memang ada belasan yang kami tangani, tapi baru 5 kasus itu yang siap dilimpahkan ke pengadilan. Tersangkanya sudah kami perpanjang masa penahanannya. Kasus yang lain masih kami kembangkan penyidikannya,” kata Yuspar. Untuk diketahui, tersangka kasus RSJ Atma Husada, Yunni dan Tukimo sudah menjalani masa tahanan tambahan 40 hari setelah usai menjalani masa tahanan 20 hari. (kri/*/che)
Kaltimpost, 20 september 2008

Senin, 29 Juni 2009

Korupsi BPKD Kukar Dibidik

SAMARINDA– Kejati Kaltim kini membidik aliran dana di Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kukar sebesar Rp19,3 miliar yang tak jelas pertanggungjawabannya. Dari dana itu, hanya Rp2 miliar yang bisa diamankan oleh penyidik. Sedangkan Rp17,3 miliar masih dalam penyelidikan Pidsus kejati Kaltim. Dan hingga Kamis (11/9) kemarin, sejumlah saksi telah dimintai keterangan. Terkait dugaan Korupsi itu, Aspidus Kejati Kaltim, Yuspar SH kepada wartawan mengatakan pihaknya masih mengembangkan penyelidikan terhadap penyalahgunaan dana yang diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kukar.

“Seharusnya uang yang dicairkan Kadis dan Bendahara BPKD itu langsung dimasukkan ke rekening Kas daerah. Tapi dana sebesar Rp19,3 miliar itu digunakan untuk kepentingan diri sendiri dan orang lain, sehingga Negara mengalami kerugian belasan miliar rupiah,” jelasnya. Dari dana itu, Yuspar mengaku baru bisa mengamankan Rp2 miliar. Sedangkan Rp17,3 miliar masih dalam penyelidikan jajarannya. “Saat ini kami masih menyelidiki aliran dana Rp17,3 miliar itu ke mana saja,” katanya.
Ketika ditanya soal calon tersangka, Yuspar mengaku belum bisa menetapkan karena masih dalam penyelidikan lebih lanjut. “Saat ini sudah ada beberapa saksi kita mintai keterangan,” ucapnya.

Disebutkannya, Didi Budiono Kabid Pendaftaran dan Pendataan BPKD, H Padlan Kabid Penagihan, Bendahara BPKD Maklud, Sekretaris Aji Lina R, Kasubag Keuangan Indrayanto dan Budi Aulia Noor staf bendahara. Selain dana Rp2 miliar disita dalam kasus ini. Kejati juga sudah berhasil mengamankan keuangan Negara, di antaranya dari kasus korupsi RS AW Sjahranie Rp1 miliar, RSJ Atma Husada Mahakam Samarinda, Rp3 miliar. Kasus dana fiktif kegiatan HUT Disdik di Kukar Rp300 juta, kasus di Tanah Grogot Rp109 juta, dan kasus dugaan Korupsi pendidikan luar sekolah di Diknas Kutim Rp400 juta. “Saat ini penyidik sudah meminta bantuan kepada BPK untuk menghitung kerugian Negara. Informasinya BPK sudah turun ke Kukar, guna memercepat kasusnya. Selesai lebaran harapannya kasusnya sudah bisa dilimpahkan,” tandasnya.

DITAHAN
Beberapa waktu lalu, Naisah Rahman selaku Pejabat Teknis Kegiatan peringatan Hari Guru tahun 2007 di Dinas Pendidikan Kukar, ditangkap karena membuat laporan pertanggungjawaban fiktif. Sehingga Negara mengalami kerugian sebesar Rp300 juta. Di dinas yang sama, kembali Kejati Kaltim menahan salah satu pejabat pelaksana Teknis Kegiatan Kepala Sekolah di Disdik Kukar, yakni Luther Tinggai Lahang SPd, karena membuat kegiatan fiktif. Hal tersebut diungkapkan Aspidsus Kejati Kaltim, Yuspar SH kepada sejumlah wartawan di ruang kerjanya, Kamis kemarin. “Luther ditahan karena diduga kuat membuat kegiatan fiktif, sehingga Negara dirugikan sebesar Rp286,692 juta,” ungkapnya.

Bersamaan ditahannya Luther, siang itu Kadisdik Kukar, Bahrul dimintai keterangan oleh penyidik di ruang terpisah, Kamis kemarin. Bahrul dimintai keterangan terkait kasus Luther, yang diduga kuat menyalahgunakan dana APBD Kukar tahun 2007. Saat ditanya wartawan, Bahrul yang baru tiba di Kantor Kejati Kaltim, mengaku baru bisa memenuhi panggilan penyidik, karena baru saja datang dari ibadah umrah. “Saya baru pulang umrah, jadi baru sekarang saya bisa datang,” akunya. Lanjut dikatakan, Yuspar, Luther yang ditahan usai menandatangani berita acara pemeriksaaan (BAP) tersangka, dianggap paling bertanggungjawab. “Di Disdik Kukar ada kegiatan untuk pendidikan bagi Kepala Sekolah se-Kukar. Tapi anggaran untuk kegiatan sebesar Rp300 juta dihabiskan, sedangkan kegiatannya fiktif,” bebernya. Jadi, selain Kadisdik, di hari yang sama diperiksa juga bendahara Disdik Kukar. “Untuk sementara ditetapkan sebagai tersangka baru Luther,” tandasnya. (sua)
Tribun Kaltim 12 September 2008

Samsuri Kembalikan Uang Lagi, Berkasnya Segera Lengkap

JAKARTA - Tersangka kasus penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) dipastikan tak hanya Pelaksana Tugas Bupati Samsuri Aspar dan anggota Komisi II DPRD Kukar Setia Budi. KPK telah mengantongi beberapa nama calon tersangka baru yang diduga kuat terlibat langsung dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp 30 miliar tersebut. Menurut juru bicara KPK Johan Budi SP, Selasa (9/9), paling lambat setelah Lebaran nanti, jati diri tersangka baru itu akan diumumkan. Kenapa baru dimumkan setelah Lebaran? Ini disebabkan karena penyidik tengah fokus untuk segera melengkapi berkas pemeriksaan (BAP) Samsuri dan Setia Budi, paling lambat pada Ramadan ini juga. “Kita upayakan berkasnya lengkap (P-21) bulan puasa ini,” jelas Johan.

Alasan lain, padatnya perkara yang tengah ditangani tim jaksa “khusus Kukar” yang diketuai Khaidir Ramli. Khaidir Ramli bersama tiga anggotanya yang kini tengah menangani kasus korupsi Rp 100 miliar di Bank Indonesia (BI) –dengan tersangka pejabat BI, Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak- sejak setahun ini juga dipercayai menangani proses penuntutan dan persidangan kasus korupsi yang terjadi di Kukar. Sebut saja, -yang ditangani Ramli dkk-korupsi yang dilakukan mantan Bupati Syaukani HR, yang kini telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) di tangan Mahkamah Agung dengan hukuman 6 tahun penjara. Satu lagi adalah korupsi studi kelayakan proyek pembangunan Bandara Loa Kulu, Kukar, yang dilakukan Bupati Minahasa Utara (non-aktif) Vonnie Anneke Panambunan.

Seperti Syaukani, kasus Vonnie juga sudah inkracht dengan hukuman 18 bulan penjara di tingkat Tipikor tahap pertama. Alasan lainnya, lanjut Johan, penyidik harus berhati-hati dengan kondisi kesehatan Samsuri yang pernah terkena serangan jantung.

KEMBALIKAN UANG LAGI

Untuk kali kedua dalam sepekan ini, Samsuri kembali menitipkan uang kerugian negara ke KPK. Hanya saja soal jumlahnya Johan tak ingat pasti. Seperti pengembalian uang Selasa (2/9), Samsuri yang datang sekira pukul 10.00 WIB diantar penyidik KPK dari tahanannya di Bareskrim Mabes Polri. Seperti biasa pula, setelah sekira 1 jam bertemu penyidik, saat keluar dia menolak berkomentar sewaktu ditanya wartawan. Karena ada niat baik untuk mengembalikan uang, lanjut Johan, pihaknya untuk sementara belum melakukan penyitaan aset Samsuri maupun Setia Budi. Sebaliknya, jika hingga berkasnya telah dinyatakan P-21 oleh jaksa tapi kerugian negara tak kunjung diganti, KPK dipastikan akan melakukan penyitaan.

Pekan lalu, Samsuri mengembalikan Rp 500 juta untuk dana bansos yang digunakan untuk pengadaan alat band di 18 kecamatan se-Kukar. Sebelumnya pada tahap penyidikan dia juga telah mengembalikan Rp 850 juta. Sementara Setia Budi, dari kerugian negara yang dilakukan sekira Rp 12 miliar, dia telah menitipkan sekira Rp 9 miliar. Kerugian kasus bansos sisanya, terus dicicil lebih dari 30 anggota DPRD Kukar yang ikut kebagian uang negara tersebut lewat Setia Budi langsung atau anak buahnya. Baik pengacara Samsuri, Agus Rahmat maupun Dodi selaku pengacara Setia Budi tak menanggapi saat dikonfimasi lewat telepon maupun SMS.(pra)
Kaltimpost 10 September 2008

Juga Aset Samsuri, jika Tak Kembalikan Uang Bansos

JAKARTA-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menyita aset milik Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Samsuri Aspar dan Ketua Komisi II DPRD Kukar Setia Budi. Langkah ini bakal dilakukan jika janji keduanya untuk mengembalikan uang kerugian negara Rp 30 miliar tak segera direalisasikan. Beberapa aset milik kedua pejabat kabupaten terkaya di Indonesia ini telah dan terus didata asal muasalnya. Salah satunya adalah rumah megah bergaya Persia milik Setia Budi di Jl Patin, Tenggarong, Kukar. Rumah bak istana tersebut kini masih dalam proses renovasi.

Menurut juru bicara KPK Johan Budi SP, rumah tersebut diduga kuat dibangun dari uang hasil penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) APBD Kukar tahun 2005-2006, seperti yang disangkakan KPK. "Kita memang belum melakukan penyitaan. Tapi dari sekian banyak aset keduanya, rumah Setia Budi itu memang sangat kita curigai sebab dibangun di tengah-tengah uang bansos dicairkan," jelas Johan.

Dari hasil perhitungan pihaknya, lanjut Johan, uang bansos yang dinikmati Setia Budi mencapai Rp 10,3 miliar. Sisanya Rp 19,7 miliar dinikmati bersama Samsuri Aspar, yang saat kejadian kapasitasnya sebagai Wakil Bupati Kukar. Dengan begitu, Setia Budi yang juga Ketua Urusan Rumah Tangga DPRD Kukar ini bakal terjerat dakwaan ganda. Satu atas namanya sendiri, lainnya bersama Samsuri Aspar. Dikatakan Budi, dari uang bansos sejumlah Rp 19,7 miliar itu, sebanyak Rp 1,2 miliar di antaranya digunakan untuk pengadaan senjata api bagi puluhan anggota DPRD Kukar. Adapun sisanya Rp 18,5 miliar peruntukannya tak jelas. Mayoritas digunakan untuk kegiatan fiktif. Misalnya, perjalanan dinas anggota DPRD, bantuan untuk organisasi kemasyarakatan atau usaha kecil.

Niat baik juga diharapkan datang dari puluhan anggota DPRD Kukar, sebab diketahui uang yang diterima Setia Budi tersebut kemudian disebar ke mereka. Informasi yang diterimanya dari penyidik, tambah Johan, uang itu dijanjikan dikembalikan ke kas daerah lewat Ketua DPRD Kukar Rahmat Santoso. Sebelumnya, lewat pengacaranya Dodi, Setia Budi diketahui telah mengembalikan uang Rp 7 miliar. Ini diakui Johan, tapi jumlah yang diterima penyidik hanya Rp 4 miliar. "Sisanya dititipkan ke kas Pemkab," kata Johan. Saat ditahan Kamis malam pekan lalu, Dodi berharap KPK tak melakukan penyitaan aset, sebab kliennya terus berusaha mengembalikan uang kerugian negara yang menurutnya berjumlah Rp 11 miliar.

Jika perhitungan Dodi ini benar, berarti uang yang masih belum dikembalikan anggota DPRD Kukar masih miliaran. Hanya saja, Johan belum bisa menyebutkan karena hal ini masih terus diselidiki. Dari hasil pemeriksaan KPK di Tenggarong beberapa waktu lalu terungkap, uang bansos dijadikan bancakan oleh anggota DPRD. Per orangnya minimal mendapat puluhan juta, bahkan ada di antaranya lebih dari Rp 350 juta.

Meski satu berkas, Samsuri dan Setia Budi ditahan di tempat terpisah. Samsuri di Rutan Bareskrim Mabes Polri, sedangkan Setia Budi dititipkan di Rutan Polrestro Jakarta Pusat. Atas perbuatannya, keduanya akan dijerat tuduhan telah melakukan korupsi serta menyalahgunakan wewenang secara bersama-sama, dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun maksimal 20 tahun penjara, dan denda minimal Rp 200 juta hingga tertinggi Rp 1 miliar.(pra)
Kaltimpost 28 Juli 2008