Selasa, 13 April 2010

Pangeran Ario : Kukar Memang Dikutuk

Sebut Banyak Pejabat Memakan "Rezeki" yang Bukan Haknya

TENGGARONG– Pernyataan Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Danang Widyoko bahwa Kutai Kartanegara (Kukar) merupakan daerah yang terkena ‘kutukan’ Sumber Daya Alam (SDA) sehingga banyak pejabatnya dijebloskan ke penjara dibenarkan Pangeran Kutai Kartanegara Ing Martadipura Ario Jaya Winata.

Ia meyakini, kutukan itu memang melanda Kukar karena banyak pejabatnya “memakan” semua rezeki, meski bukan haknya. “Dulu, semua pejabat di kerajaan itu disumpah. Tak melihat yang bukan haknya, tak mendengar yang bukan haknya, dan tak mengambil yang bukan haknya. Sekarang, pejabat Kukar dikutuk karena memakan semua rezeki di depan matanya, meski itu bukan haknya,” kata Pangeran Ario Jaya Winata yang akrab disapa Aji Boli ini, kemarin. Menurutnya, kekayaan alam di Kukar itu berumur jutaan tahun dan fungsinya untuk kemashalatan umat di Kukar.

Namun, diyakininya banyak pejabat yang mengeruk semuanya untuk kepentingan pribadi. “Ini realitasnya. Pejabat mengeruk semua sumber daya alam dengan bantuan pihak ketiga (perusahaan, Red.) untuk kepentingan segelintir orang saja. Padahal mereka harusnya tahu, kekayaan Kukar itu haknya orang Kukar.
Ini tidak seperti itu, rezekinya ayam saja diambil atau dimanipulasi (beras miskin, Red.),” ujarnya. Tak hanya itu, Aji Boli juga melihat, saat ini pengelolaan sumber daya alam di Kukar hanya menggunakan izin formal.


Padahal, di Kukar sangat kental budaya kulturalnya. “Zaman kerajaan dulu, semua orang harus berizin ke sultan dulu untuk berusaha. Karena adat itu hidup dan ada di Kukar. Sekarang, hanya dengan mengantongi izin pemerintah, semua orang berhak mengeruk kekayaan Kukar. Tak perduli di sekitarnya banyak warga Kukar yang miskin dan menangis kelaparan,” ungkapnya. Dia meyakini, bila pejabat Kukar ingin terlepas dari kutukan itu, maka harus disumpah secara adat ketika menempati posisi itu. “Ini pernah saya sampaikan sebelumnya ketika memperjuangkan Sultan Kukar Salehuddin I menjadi pahlawan nasional.
Semua pejabat saat ini harus disumpah secara adat oleh Sultan. Bila tidak, maka siap-siap saja dengan kutukan itu,” katanya.

Ada tidaknya kutukan itu, faktanya memang banyak pejabat Kukar yang dibui. Catatan Kaltim Post, sudah 22 pejabat tersangkut kasus hukum. Dalam menjalani proses hukum itu, ada yang menjalani hukuman seperti mantan Bupati Kukar Syaukani HR, mantan Plt Bupati Kukar Syamsuri Aspar, dan mantan Ketua PURT DPRD Kukar Setia Budi. Namun ada juga yang kasasi namun ada pula yang melarikan diri dari eksekusi aparat dengan menghilangkan diri (selengkapnya lihat grafis.). Soal Sebelumnya Danang Widyoko menegaskan Kukar ini contoh sempurna dari daerah yang terkena ‘kutukan’ SDA. “Karena dari hasil penelitian ilmu sosial, negara-negara yang kaya sumber daya alam justru terpuruk dalam kemiskinian, korupsi, konflik tiada akhir, dan ketertinggalan.

Sedangkan negara yang maju justru negara yang miskin SDA. Sebut saja Korea, Jepang, dan Singapura. Kukar, saya lihat contoh kecil dari sebuah daerah di Indonesia. Lihat saja di sini angka kemiskinannya cukup tinggi dan banyak yang tersangkut korupsi,” ungkap Danang kepada Kaltim Post usai debat calon bupati Kukar, Minggu (11/4). Ia pun khawatir jika para calon bupati dan wakil bupati tak pandai mengelola SDA, mereka bakal mengikuti jejak para pejabat Kukar yang telah tersangkut korupsi.

Berdasarkan catatan Kaltim Post, hingga saat ini setidaknya sudah ada 21 pejabat di Kukar yang dipenjara akibat tersangkut berbagai kasus korupsi. “Jangan sampai mereka ini menjadi barisan antre masuk penjara. Kita harap, mereka menjadi barisan orang yang bisa berbuat baik dan berkorban untuk rakyat Kukar,” harap Danang yang lembaganya punya komitmen untuk mengungkap kasus-kasus korupsi di Indonesia.

BELUM TERSANGKA

Kasus korupsi yang saat ini masih terus disidik Kejari Tenggarong yakni kasus dugaan mark up pemebebasan lahan Stadion Madya Kudungga di Desa Perjiwa Tenggarong Seberang. Melalui Kasi Pidsus Ahmad Muhdor menyatakan kasus ini memang kembali melibatkan mantan Bupati Kukar Syaukani Hasan Rais. Namun, kata dia, penyidikan masih terus dilakukan, sembari menunggu hasil perhitungan kerugian negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Saya perlu luruskan bahkan Pak Syaukani belum tersangka.

Hanya beliau dominan menjadi tersangka karena posisinya sebagai pemutus kebijakan,” katanya, kemarin. Dijelaskannya, saat ini pihaknya belum menggeber kelanjutan kasus ini karena masih menunggu perhitungan kerugian negara dari BPKP. “Kami berkomitmen menyelesaikan kasus ini. Tapi mohon semua pihak memahami kondisinya,” tegasnya. Kejari Tenggarong sempat menyebut bahwa Syaukani ada keterlibatan dalam kasus ini, bila dilihat pada posisinya sebagai Ketua Tim 9 (tim pembebasan lahan) dan sebagai Bupati Kukar saat itu.

Syaukani yang sebagai bupati memutuskan pembelian lahan itu, dinilai bisa dianggap salah. Kendati demikian, Muhdor menyebut semuanya masih dalam proses. “Karena itu, kami hanya bisa menyebut bahwa Syaukani ada kemungkinan menjadi tersangka. Tapi, belum secara yuridis ditetapkan sebagai tersangka,” ulangnya. Karena itu, ketika ditanya kapan pemeriksaan Syaukani, Muhdor mengaku belum dilakukan. “Karena statusnya sekali lagi belum tersangka,” ujarnya.

Satu-satunya tersangka dalam kasus ini, sebut Muhdor, yakni mantan kepala BPN Kukar Soeparlan. “Sebenarnya belum resmi juga kami tetapkan. Tapi, yang bersangkutan ini sudah hampir pasti jadi tersangka,” tegasnya. Dijelaskannya, Soeparlan disebut menjadi tersangka karena memiliki motif dalam kasus ini.
Yakni, posisinya sebagai kepala BPN Kukar dan anggota tim pembebasan lahan atau saat itu dinamakan tim 9 oleh Pemkab Kukar berdasarkan surat keputusan (SK) bupati. Kejari meyakini, dengan kedua posisi ini, Soeparlan melakukan mark up nilai jual tanah di Desa Perjiwa.

Karena ditemukan sejumlah kejanggalan. Salahsatu kejanggalan, pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas umum semestinya mengacu harga pasar dan nilai jual obyek pajak (NJOP). NJOP tanah di wilayah itu pada 2005-2006 sekitar Rp 7.150 per meter persegi, merujuk Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No 1/1994 dan Keputusan Presiden No 55/1993.

Sementara pembebasan dilakukan Pemkab Kukar melalui tim 9 senilai Rp 65 ribu per meter persegi. "Nah, nilainya jauh di atas NJOP maupun perkiraan harga pasaran. Apalagi harga jual tanah di situ disamakan antara lahan bersertifikat dengan yang tidak memiliki sertifikat hak milik. Di sana ada 4 kavling bersertifikat dan 51 kavling tak bersertifikat. Mengacu peraturan BPN, lahan tak bersertifikat dibayar 90 persen, dan tanah bersertifikat dibayar 100 persen," jelas Muhdor. Kejanggalan lain, lahan dibeli dahulu oleh pihak tertentu.

Selanjutnya dibebaskan Pemkab Kukar dengan harga jauh lebih tinggi, sehingga menguntungkan pembeli tadi. Pembayaran lahan stadion seluas 55,9 hektare melalui APBD 2006 senilai Rp 32 miliar. Tapi pemilik lahan justru menerima pembayaran di 2004-2005, sehingga muncul dugaan tanah dibeli terlebih dahulu sebelum dibebaskan.

Sebelumnya, keluarga Syaukani Hasan Rais menyesalkan langkah Kejari Tenggarong yang kabarnya telah menetapkan Syaukani sebagai tersangka kasus pembebasan lahan Stadion Kudungga di Desa Perjiwa, Tenggarong. Menurut istri Syaukani, Dayang Kartini, Kejari Tenggarong seharusnya melihat kondisi suaminya yang kini masih tergolek di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, setelah terserang stroke pada awal Januari 2009 lalu.

Akibat terserang stroke yang berujung gagal bernafas, tubuh Syaukani kini tak berfungsi dengan normal. Kedua kaki dan tangannya tak bisa digerakkan. Ingatannya pun terganggu, sehingga untuk mengenali keluarga dan kerabat dekatnya sering tak mampu.

Menurut Dayang, kondisi kesehatan suaminya itu sudah diakui pemerintah. Ini dibuktikan dengan masuknya nama mantan Ketua DPD Partai Golkar Kaltim ini, sebagai napi yang bisa mengajukan grasi (pengampunan) ke presiden, setelah terbukti bersalah melakukan korupsi dan dihukum 6 tahun penjara oleh Mahkamah Agung.(che/gs)
Kaltimpost 13 April 2010

Minta Panitia Lain Ditahan

SAMARINDA – Kasus dugaan korupsi pengadaan 1.000 unit hand tractor tahun 2003 di Kutai Kartanegara (Kukar) segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong. Hendriansyah Amin, salahsatu tersangka kasus itu, mengklarifikasi semua tuduhan yang mengarah padanya. Dia membantah terlibat dalam kasus yang ditengarai merugikan negara sebesar Rp 12 miliar itu. Dia berharap penilaian terhadap dirinya tetap mengacu pada azas praduga tak bersalah.

Hendriansyah adalah sosok yang telah menduduki sederet posisi strategis di lingkungan Pemkab Kukar. Saat ini, dia menjabat kepala Bidang Pemberdayaan Wanita dan Keluarga Berencana Setkab Kukar. Ketika pengadaan hand tractor dilakukan tahun 2003, Hendriansyah menjabat kepala Bagian Hukum Setkab Kukar dan berperan sebagai anggota Panitia Lelang Pengadaan 1.000 Unit Hand Tractor.

Menurut dia, apa yang dilakukan panitia saat itu hanya menjalankan mekanisme sesuai perintah atasan, dalam hal ini Eddy Subandi yang saat itu menjabat Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Kukar. Eddy Subandi sendiri hingga kemarin (11/4) masih berstatus buronan Kejaksaan Negeri (Kejari) Tenggarong terkait kasus dana kas Setkab Kukar.

“Kami hanya melaksanakan proses pelelangan. Kalau penyidik menyebut ada kerugian negara, saya tidak tahu bagaimana hitungannya,” jelas pria yang akrab disapa Pak Hendri itu saat ditemui media ini di Rumah Tahanan (Rutan) Sempaja, Samarinda, Minggu (11/4) kemarin.

Setahu dia, pengadaan hand tractor itu bersifat subsidi pemerintah daerah untuk pemberdayaan petani di Kukar. Dari pengadaan hand tractor itu ditanggung separuh biayanya oleh petani, yang mendapatkan hand tractor itu. “Dana dari petani itu langsung masuk ke kas daerah. Saya tidak tahu berapa jumlahnya, karena tugas saya hanya pada proses lelangnya,” tandasnya.

Yang membuat dia bertanya-tanya adalah sikap penyidik Kejaksaan Tinggi Kaltim yang hanya menahan panitia lelang. Sementara, dalam proses pengadaan sejumlah hand tractor itu ada yang disebut panitia pemeriksa. “Panitia pemeriksa punya peran penting, kalau ada masalah mereka juga harus ikut bertanggung jawab,” jelasnya.

Keluhan Hendriansyah itu sebelumnya juga dikemukakan tersangka lainnya, Aji Syarifudin. Ia menilai, panitia pemeriksa punya andil besar dalam proses pengadaan sejumlah hand tractor tersebut. Bahkan, menurutnya, ada 5 orang panitia pemeriksa yang mesti ikut bertanggung jawab.

Seperti diketahui, kasus pengadaan hand tractor ini telah menyeret pimpinan proyek Fachrudin. Ia saat ini menjalani hukuman 4 tahun penjara di Lapas Tenggarong. Kemudian, Ketua Panitia Lelang Aji Syarifudin (sekarang menjabat sekretaris Dinas Sosial Kukar), Sekretaris Panitia Lelang Dardiansyah (sekarang menjabat kepala Bagian Sumber Daya Alam Setkab Kukar), dan Hendriansyah sendiri. Ketiganya kini masih berstatus tersangka dan ditahan pada ruangan berbeda di Rutan Sempaja, sejak 10 dan 11 Maret lalu.

Mengenai rencana penyidik segera melimpahkan kasus itu ke Pengadilan Negeri Tenggarong, Hendriansyah mengaku merespons positif rencana tersebut. Ia senang jika proses kasus tersebut berjalan cepat, karena dirinya ingin segera mendapatkan kepastian hukum. “Saya dengar kasus kami memang akan dilimpahkan. Saya yakin tidak bersalah,” ujarnya.

Sebelumnya, Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Kaltim Baringin Sianturi SH mengungkapkan, pihaknya akan segera melimpahkan kasus ini ke pengadilan. Penyidik juga telah menjelaskan Panitia Pemeriksa Pengadaan Hand Tractor masuk dalam agenda pemeriksaan. Termasuk Ketua Panitia Pemeriksa Hj Nurul, namun yang bersangkutan belakangan menderita sakit stroke di Jakarta. Eddy Subandi juga tak kunjung diperiksa, karena yang bersangkutan sedang buron. (kri)
Kaltimpost 12 April 2010

Jumat, 09 April 2010

Syaukani Jadi Tersangka Lagi

Jumat, 9 April 2010 | 22:49 WITA
"Tanah-tanah yang digunakan untuk membangun kompleks stadion itu dibeli Pemkab Kukar senilai Rp 65.000/m² untuk tanah dari pinggir Jalan Gresik hingga 250 meter ke dalam dan Rp 50.000/m² dari 250 meter hingga seterusnya. Padahal NJOP tanah di daerah itu pada 2005 dan 2006 hanya Rp 7.150/m².'"Ahmad Muhdor, Kasi Pidsus Kejari Tenggarong

TENGGARONG – Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kutai Kartanegara, ditetapkan lagi sebagai tersangka oleh Kejari Tenggarong. Kali ini dalam kasus proyek pembangunan Kompleks Stadion Madya di Perjiwa Tenggarong Seberang. Penetapan ini bakal menjadi pukulan yang kesekian kali bagi Syaukani.

Mantan penguasa kabupaten terkaya di Indonesia itu kini bahkan belum habis menjalani  hukuman atas sejumlah kasus korupsi yang melibatkan dirinya. Ia divonis oleh Pengadilan Tiipikor di Jakarta. Namun karena sakit yang dideritanya, Syaukani kini hanya bisa terbaring di sebuah rumah sakit di Jakarta.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Tenggarong Djumli Ilyas SH melalui Kepala Seksi (Kasi) Pidana Khusus (Pidsus) Ahmad Muhdor SH yang ditemui, Jumat (9/4), di Tenggarong mengatakan, Syaukaniditetapkan sebagai tersangka karena perannya sebagai Ketua Panitia Pembebasan Lahan Kompleks Stadion Madya di Perjiwa Tenggarong Seberang.

Penetapan itu menyusul hasil penyelidikan dan penyidikan Kejari Tenggarong. Syaukani menyusul mantan Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kukar Suparlan yang sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.  Suparlan juga tercatat sebagai salah satu panitia pembebasan lahan stadion yang rencananya akan digunakan untuk PON XVII Kaltim.

Sebelumnya, Muhdor menjelaskan, tersangka dalam pembebasan lahan menggunakan acuan harga yang tidak sesuai dengan aturan formal. Disamping itu, tersangka membeli lahan tersebut terlebih dulu, kemudian dibebaskan kepada pemerintah untuk kepentingan pembangunan kompleks stadion madya.

"Harusnya ada perbedaan harga antara tanah yang bersertifikat dengan yang tidak bersertifikat. Yang bersertifikat harganya misalnya 100 persen. Yang tidak bersertifikat harusnya di bawah 100 persen. Tapi dalam kasus ini, dia menyamakan harga, termasuk tahahnya yang tidak memiliki sertifikat. Punya dia atas nama orang lain.," katanya.

Untuk jumlah pasti kerugian negara, Muhdor mengaku menyerahkan sepenuhnya perhitungan kerugian negara kepada Badan Pemeriksa Keungan Provinsi (BPKP).

Kejari kata Muhdor juga telah memeriksa lebih dari 20 orang saksi termasuk mantan Camat Tenggarong Seberang yang saat ini menjadi Calon Wakil Bupati Kukar 2010-2015 Suko Buono.  Seperti diberitakan sebelumnya, pembebasan lahan seluas 5 hektare (ha) itu menggunakan dana APBD Kukar 2006 senilai Rp 30 miliar.

Muhdor mengatakan, dalam pembebasan lahan itu, diduga terjadinya pembengkakan dana pembebasan lahan. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan harus mengacu pada harga pasar dan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). "Ini sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) No 1 tahun 1994 dan Keputusan Presiden No 55 tahun 1993. Nah, pengadaan tanah bagi pembangunan stadion itu diduga tidak sesuai dengan peraturan-peraturan itu," ujarnya.

Muhdor menjelaskan, "tanah-tanah yang digunakan untuk membangun kompleks stadion itu  dibeli Pemkab Kukar Rp 65.000/m² untuk tanah dari pinggir Jalan Gresik hingga 250 meter ke dalam dan Rp 50.000/m² dari 250 meter hingga seterusnya. Padahal NJOP tanah di daerah itu pada 2005 dan 2006 hanya Rp 7.150/m²."

Pada tahun itu Bupati tidak menerbitkan Keputusan Bupati mengenai harga pasar. Sebagai perbandingan saja, harga pasar tanah di Jalan Kencana yang dekat dengan daerah itu sekitar Rp 13.300 per meternya. Kami gunakan perbandingan ini, karena NJOP tanah di Jalan Kencana sama dengan NJOP di Jalan Gresik pada tahun 2005 dan 2006. (asi/reo)

Andi dan Nur Ajukan Kasasi

DUA tervonis korupsi yang sebelumnya menjadi incaran Kejari Tenggarong Andi Sabrin dan Muhammad Nur sepertinya bisa bernapas lega. Pasalnya, Kejari Tenggarong untuk sementara tidak akan melakukan ekeskusi terhadap mereka karena keduanya telah resmi mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) Kaltim yang menyatakan keduanya bersalah dan harus menjalani kurungan.

"Setelah mendapat putusan tetap dari PT, kami sudah mencari Pak Andi Sabrin dan Muhammad Nur. Tapi kami belum berhasil menjalankan eksekusi. Setelah mengajukan Kasasi ke MA, wewenang untuk menindaklanjuti perkara tersebut ada di MA," ujar Kasi Pidsus Kejari Tenggarong Ahmad Muhdor SH.

Seperti diketahui, Andi Sabrin diputus bersalah oleh PT pada Desember 2009 silam. Sabrin mendapat vonis penjara 1 tahun 6 bulan karena kasus korupsi penyarulan pupuk dari Dinas Pertanian kepada petani pada 2004.

Sabrin saat itu berperan sebagai Sekretaris Forum Komunikasi Masyarakat Tani Nelayan Karya Bangsa (FKMTN) yang menyalurkan pupuk kepada petani melalui program Dinas Pertanian Kukar. Begitupun dengan M Nur yang dinyatakan bersalah pada putusan banding PT terkait kasus korupsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Badan Pemeriksa Keuangan Daerah (BPKD).(asi)

Kaltimpost 9 April 2010

Kamis, 08 April 2010

KPK Sorot Bansos Jilid II

“Konsisten” 10 Besar, Tolak Kantor Penghubung di Kaltim

BALIKPAPAN– Kasus bantuan sosial (bansos) Kutai Kartanegara (Kukar) jilid II yang hampir setahun tertahan di bagian penuntutan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim, menjadi perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK Bibit Samat Riyanto berjanji, mendorong kejati menyelesaikan berkas perkara yang ditengarai merugikan negara Rp 29,7 miliar itu. “Itu menjadi perhatian kami dan akan ditanyakan ke Kejati bagaimana perkembangan kasusnya,” kata Bibit.

Dia datang ke Gedung Biru Kaltim Post, Jl Soekarno Hatta Km 3,5, Balikpapan didampingi Juru Bicara KPK Johan Budi dan Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Cahya Harefa, kemarin (7/4). Rombongan diterima langsung Pemimpin Redaksi Kaltim Post Bambang Janu Isnoto dan Wakil Redaktur Pelaksana Rizal Juraid.

Menurutnya, KPK tetap memantau penanganan kasus yang sudah dilimpahkan ke penegak hukum di daerah. Ditambah lagi, akan dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi(tipikor) di 7 kota termasuk Samarinda, diharapkan menjadi pendorong penyelesaian kasus korupsi. “Kami push (dorong) supaya penanganan kasus itu cepat selesai,” janji mantan Kapolda Kaltim di pengujung dekade 90-an ini.

Dilansir sebelumnya, belum disidangkannya bansos jilid II Kukar ini terkendala revisi izin Gubernur Kaltim terkait pemeriksaan Khairuddin, anggota DPRD Kukar yang ditetapkan sebagai tersangka. Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Kaltim Baringin Sianturi SH mengatakan, redaksi izin pemeriksaan keliru, di mana tertulis pemeriksaan terkait dana operasional DPRD Kukar, seharusnya terkait dana bansos.

Kasus ini menyeret tiga tersangka, di antaranya anggota DPRD Kukar Khairuddin, mantan Asisten IV Sekkab Kukar Basran Yunus, dan rekanan pengadaan alat band Boyke Andre Noriza alias Ica. Penyidikan ketiganya kerap disebut bansos jilid II, sebab sebelumnya KPK sudah menuntaskan perkara bansos jilid I dengan terpidana mantan Wakil Bupati Kukar Samsuri Aspar, dan mantan Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPRD Kukar Setia Budi.

Ketiga tersangka bansos jilid II, sempat menjadi saksi persidangan Samsuri dan Setia Budi. Ica bahkan mengaku menikmati Rp 2 miliar dari total Rp 5 miliar program pengadaan alat band di 18 kecamatan se-Kukar antara 2005-2006. Sebanyak Rp 950 juta, dari Rp 3 miliar sisanya diberikan pada Samsuri.
Sementara Khairudin mengaku, memerintahkan pembuatan lebih 50 proposal bansos fiktif. Khairudin juga mengaku membagikan uang masing-masing Rp 375 juta ke 37 anggota DPRD Kukar periode 2004-2009, dengan dalih dana operasional dan dinas anggota DPRD.

MASIH 10 BESAR

Sementara itu, penanganan dan laporan kasus korupsi di Kaltim, disebut KPK tergolong tinggi. “Beberapa tahun ini, Kaltim tidak pernah lepas dari 10 besar, baik dari laporan ke KPK, maupun laporan yang sudah ditangani dan masuk ke penindakan,” katanya. Saat lawatannya ke Kaltim beberapa bulan silam, Bibit menyebut dari 40.000-an laporan masuk sejak tahun 2004, sebanyak 1.254 di antaranya berasal dari Kaltim. “Terbanyak masih didominasi dari Jawa dan Sumatra,” terangnya lagi.

Sementara Johan Budi menyebut, dari semua laporan masuk, tidak semuanya bisa ditangani KPK. Dengan kekuatan 700-an anggota, KPK lebih dulu menyeleksi laporan mana yang bisa ditangani. “Tidak semua kasus korupsi ditangani. Kami hanya menangani kasus yang dilakukan penyelenggara negara menurut UU Nomor 28/1999, seperti kepala daerah, pegawai negeri, dan legislatif.

Lalu, kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp 1 miliar, dan menjadi perhatian masyarakat,” terang Johan. Lalu, dengan tingginya laporan masyarakat, apakah KPK tidak berniat membuka kantor penghubung di Kaltim? Menjawab itu, Johan menyebut, ada berbagai pertimbangan tidak membuka kantor di daerah. KPK khawatir, dengan membuka cabang, bisa dimanfaatkan pihak-pihak tak bertanggungjawab melakukan pemerasan.

“Belum dibuka saja sudah ada yang mengaku-ngaku dari KPK,” tambahnya. Sementara Bibit menyebut, KPK sejatinya berperan mendorong penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian memberantas korupsi. “KPK tidak selamanya ada, kami mendorong meskipun sekarang justru KPK yang jadi pemeran utama,” tambahnya.

POLITIK UANG

 Lebih jauh, Bibit yang penulis buku Koruptor Go to Hell ini menyebut, merajalelanya tipikor tidak lepas dari sistem perpolitikan Indonesia yang belum bisa melepaskan diri dari politik uang (money politics). “Bicara korupsi, tidak lepas dari akarnya. Politik uang yang membuat dana kampanye miliaran untuk jadi pemimpin. Sistem kita ini kedodoran dan saya sudah sampaikan itu ke Presiden SBY,” katanya.

Di beberapa daerah, upaya “balik modal” sang kepala daerah, kerap dijadikan motif utama korupsi. Purnawirawan Polri bintang dua ini bercerita, saat dia menjadi Kapolda Kaltim pada masa keemasan kayu. “Setoran Kapolda untuk satu kapal yang mengangkut kayu Rp 500 juta. Selama 9 bulan pada 1997-1998, saya menangani 234 kasus illegal logging.

Bayangkan, berapa miliar yang bisa saya dapatkan kalau mau kaya,” katanya. Dari 234 kasus itu, Bibit menyebut 91 kasus sudah P-21 (lengkap berkas) dan disidangkan. Beberapa pegawai di lingkungan Dinas Kehutanan maupun Kejati Kaltim juga diseret. “Saya beritahu atasannya. Lalu saya dibilang, tangkap saja Pak, wong mereka enggak pernah setoran,” beber salahsatu tokoh utama perseteruan KPK vs Polri atau lebih populer “cicak versus buaya” beberapa waktu lalu ini.

Ketika zaman kayu sudah habis, Bibit tidak heran jika batu bara dijadikan komoditas penggantinya. “Misalnya untuk menjadi wali kota habis miliaran. Untuk main proyek, sekarang ini sulit. Tidak heran jika sumberdaya alam seperti kayu atau izin KP (kuasa pertambangan, Red) dijual. Itulah akar korupsi yang harus dicabut,” tambah pria kelahiran Kediri, 65 tahun silam ini.

Di samping itu, akar korupsi lainnya adalah disparitas penghasilan pegawai, integritas moral, dan lemahnya sistem hukum. “Kalau perlu, penghasilan birokrat naik 10 kali lipat dengan catatan birokrasi harus ramping,” katanya, lalu menyebut KPK terus menyoroti kasus fee BPD, ongkos pungut, dan honor kepala daerah yang rangkap jabatan di perusahaan daerah/BUMD.

Sementara Johan Budi menimpali, pada 2010 ini, ada empat bidang yang menjadi sorotan utama KPK. Terdiri atas aparat hukum, keuangan negara, pengelolaan sumberdaya alam, dan pelayanan publik.
Di Balikpapan, rombongan KPK siang kemarin sempat mengisi materi di Hotel Tiga Mustika dalam seminar bertajuk “Metode Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi dalam Konteks Era Reformasi Birokrasi Otonomi Daerah dan Pesatnya Perkembangan Teknologi Informatika”.

Acara ini digagas lembaga swadaya masyarakat Penggawa Adat Dayak Borneo. Sorenya, setelah mengunjungi Gedung Biru, Bibit dan Johan hadir di bincang spesial G-to Show di Balikpapan TV (BTV).(fel)

Sumber : kaltimpos.co.id

Soal Deposito Rp 72 M, AFI Sebut Perusda Tak Pernah Melapor

BALIKPAPAN- Dugaan kerugian daerah Rp 72 miliar dari deposito Kutim di Bank IFI, membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertarik mendalami kasus ini. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Bibit Samad Riyanto berjanji, segera mempelajari dan menelusuri dugaan tersebut. Ditemui di Gedung Biru Kaltim Post Jalan Soekarno-Hatta Km 3,5 Balikpapan, Bibit mengatakan, segera menelusuri dugaan yang didasari hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut. “Informasinya baru kami terima. KPK akan pelajari dan telusuri masalah ini.

Bagaimana peraturannya dan seperti apa dugaan pelanggarannya,” kata Bibit. Sementara Juru Bicara KPK Johan Budi yang mendampingi Bibit menjelaskan, jika BPK melakukan audit investigasi, biasanya atas permintaan KPK. “Jika BPK menyerahkan hasil auditnya kepada kami, akan ditindaklanjuti,” terangnya.
Ditambahkan, selama ini BPK rutin memberikan pernyataan ke KPK. “Misalnya seperti Bank Century yang melibatkan petinggi Bank Indonesia. Itu juga berasal dari audit BPK,” kata Budi, mencontohkan.

Johan juga kaget jika PT Kutai Timur Energi (disingkat KTE, anak perusda yang menyimpan duit Pemkab Kutim di Bank IFI) mengaku telah memegang aset bank bermasalah itu berupa tanah dan bangunan.
Menurutnya, jika suatu bank dilikuidasi, aset bank tersebut seharusnya dikuasai negara melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). “Itu juga ditelusuri,” pasti Johan. Sedangkan Chief Executive Officer PT Kutai Timur Investama (KTI/induk KTE) Tjetjep Prasetya enggan bicara banyak terkait deposito Rp 72 miliar.


Ditemui di sela workshop investasi di Kantor Gubernur Kaltim, Samarinda, kemarin (7/4), Tjetjep membantah jika perusahaan yang dipimpinnya ikut terlibat dalam rencana pemanfataan dana Rp 576 miliar yang sebagian dilarikan ke deposito. “Saya tidak tahu itu. Coba tanya ke Pak Anung (Dirut KTE Anung Nugroho, Red) karena saya tidak dilibatkan,” ujarnya mencoba menghindari pertanyaan wartawan.


Disinggung bahwa Awang Faroek Ishak yang kala itu menjabat bupati Kutim tidak pernah mendapat laporan terkait kegiatan KTI, Tjetjep memilih diam hingga dia keluar dari ruang Ruhui Rahayu --tempat workshop-- menuju litf. “Kalau itu saya no comment. Tapi kalau mau tahu soal deposito itu, sebaiknya tanya Pak Anung,” timpalnya, lalu pergi.

Awang Faroek Ishak (AFI) sendiri juga mengaku belum mengetahui adanya sinyalemen dana Rp 72 miliar yang didepositokan di Bank IFI menguap. Menurut dia, yang tahu persis proses deposito atau penggunaan hasil penjualan saham 5 persen KPC itu adalah KTE dan Bupati Kutim Isran Noor. “Sebaiknya tanya Pak Isran. Saya belum tahu itu,” ujar Awang Faroek yang dihubungi baru-baru ini.

Disinggung posisinya yang masih bupati Kutim saat deposito Bank IFI dilakukan Desember 2008 lalu, Awang Faroek mengatakan kala itu lebih fokus suksesi pemilihan gubernur hingga dilantik. Setelah itu, dia tidak tahu lagi ke mana arah penggunaan dana tersebut. Meski begitu Awang Faroek mengaku proses penjualan saham USD 63 juta atau setara Rp 576 miliar itu sesuai persetujuan DPRD Kutim, dengan catatan seluruhnya masuk dalam anggaran daerah.

Supaya informasi ini tidak simpang siur, Awang Faroek kembali menyarankan agar sebaiknya mengonfirmasi masalah ini ke Isran Noor atau Perusda KTE. Selain itu, Awang Faroek juga mengirimkan pesan singkat (SMS) bahwa semua kegiatan KTI juga tidak pernah dilaporkan kepadanya.

Walau dia kala itu yang masih menjabat Bupati pernah memerintahkan hasil penjualan saham disetorkan ke kas daerah. “Dan Perusda yang pernah mempresentasikan ke DPRD tentang rencana-rencana yang akan dilakukan Perusda, seharusnya setelah itu baru dibicarakan dalam pembahasan anggaran APBD bersama panitia anggaran eksekutif,” katanya.(fel/ibr)

Sumber : kaltimpos.co.id