Senin, 31 Agustus 2009

Ke Kantor Hanya Ambil Gaji

Tentang Mutasi di Kukar

TENGGARONG, TRIBUN - Diperkirakan, selama hampir 32 bulan atau Oktober 2005, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) telah menghabiskan dana Rp 2,4 miliar lebih untuk membayar gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) non job atau PNS yang status pekerjaannya tak jelas. Menurut Mantan Asisten III Chairil Anwar dana sebesar itu menjadi sia-sia atau mubazir, karena dibayarkan kepada para pegawai yang tidak bekerja. Dana sebesar itu hanya dihabiskan untuk pegawai yang tak memberikan kontribusi tenaga, pikiran, dan waktu bagi pembangunan di Kukar.

"Dari data yang dihimpun teman-teman, ada sekitar 180 orang PNS yang non job. Mereka berasal dari berbagai  dari berbagai dinas, badan dan kantor. Sekitar 50-70 di antaranya adalah pegawai yang memegang jabatan. Mereka memiliki masa kerja lebih dari 15 tahun dan golongan III b ke atas," kata mantan Asiten III Chairil Anwar, Senin (23/6).  Ia lalu berhitung, jika gaji non job itu dirata-ratakan sekitar Rp 1,5 juta per bulan maka dana yang dihabiskan untuk membayar gaji PNS non job ini sekitar Rp 2,4 miliar hingga Rp 3,3 miliar.

"Kalau dihitung seperti itu, ada dana sekitar Rp 1 miliar lebih yang sia-sia. Sebab, gaji itu dibayarkan kepada mereka yang tidak bekerja atau melakukan sesuatu," ujarnya. Ia lalu mencontohkan dirinya. Sebagai golongan IV/c, ia mendapatkan gaji pokok sekitar Rp 2,9 juta/bulan. Tidak mendapat tunjangan struktural lagi, karena tidak memegang jabatan. Untuk dirinya sendiri, Pemkab sudah menyia-nyiakan dana sekitar Rp 92 juta.
"Saya berharap pemerintah mau memperhatikan kami. Selain karena kerugian biaya yang cukup besar sekali, tenaga dan pengalaman kami sangat diperlukan. Kami punya pengalaman lebih dari 15 tahun, tak perlu diajarin lagi," ujarnya.

Menurutnya, walaupun selama ini dirinya tidak jelas bekerja dimana, siapa atasan, bawahan, tugas dan kewajibannya, gajinya tetap lancar. Ia tidak mengalami masalah dalam hal ini. "Lancar saja. Tiap bulan saya ambil gaji saya di BPD (Bank Pembangunan Daerah) Tenggarong," ujarnya.
Senada dengannya, seorang pegawai non job yang meminta namanya tak disebutkan mengutarakan, dirinya tak mengalami kendala saat mengambil gaji. Ia mendapat gaji di dinas, sebelum ia di-non job-kan
"Saya golongan IV/b. Tiap bulan, gaji pokok saya sekitar Rp 2,5 juta. Jumlah itu yang saya terima selama non job," ujarnya.
Ia juga menyayangkan keadaan itu terus berlangsung. Sebab, mereka tetap mendapat gaji sementara mereka tidak bekerja. "Kalau gaji saya sudah diurus oleh Bendahara Dinas. Jadi kalau ngambil, saya ke bendahara itu. Setelah itu, langsung pulang. Toh kita tidak punya pekerjaan juga. Meja dan kursi kita juga tidak jelas. Lama-lama, nggak enak juga keadaan seperti ini. Tapi saya sih tidak masalah, karena dua tahun lagi pensiun. Beda dengan yang masih muda," ujarnya.

Samsuri akan Evaluasi

PELAKSANA Tugas (Plt) Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Samsuri Aspar berjanji akan mengevaluasi pegawai-pegawai yang non job atau yang menganggur. Hal itu dikatakan usai mengikuti Rapat Paripurna 7 mengenai Kata Akhir Fraksi Terhadap Laporan Pansus Aspirasi Masyarakat Kutai Tengah di Ruang Rapat Paripurna DPRD, Senin (23/6).  "Nanti kita bicarakan, kita evaluasi dulu. Karena ada aturan main, ada Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan). Jadi saya belum bisa memutuskan. Saya butuh pertimbangan-pertimbangan lebih dulu," ujarnya.

Ketika ditanya kapan hal itu akan dilakukan, Samsuri mengulangi jawabannya. Persoalan non job akan segera dievaluasi. Senada dengannya, Plt Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Kukar M Aswin mengatakan, persoalan non job akan dibahas di Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Setelah itu, akan dibicarakan lagi di tingkat Baperjakat. "Kami akan pelajari dulu. Kami tidak akan gegabah. Persoalan ini akan dibawa ke lingkungan BKD lalu dibicarakan di Baperjakat. Karena ada juga pegawai yang tidak bertugas karena keinginannya. Kalau seperti ini kita beri batas waktu hingga 30 hari," kata Aswin.

Ia lalu menyebut dua jabatan kepala dinas saat ini yang belum terisi karena dua pejabat di posisi tersebut belum bersedia memegang jabatan itu, yaitu di Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja. Seperti diberitakan sebelumnya, mantan Asisten III Pemkab Kukar Chairil Anwar meminta pemerintah memperhatikan para PNS non job. Sebab, hampir tiga tahun, dirinya dan ratusan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak jelas pekerjaannya. Mereka tidak diberikan Surat Keputusan (SK) pemberhentian dari jabatan semula dan SK yang baru.

"Dari Oktober tahun 2005, status kami, bekerja dimana, siapa bawahan kami, siapa atasan kami, ruangan kami dimana, meja dan kursi yang mana, itu tidak jelas. Kami mohon, semoga pemerintah sekarang, dapat memperhatikan nasib kami," kata Chairil. Pegawai non job ini berasal dari berbagai dinas. Dan mereka mengaku tidak tahu mengapa mereka non job begitu lama. Padahal, selama itu, mereka tetap mendapatkan gaji pokok yang besarnya sama seperti pegawai lain.(reo)
Tribun Kaltim, 24 Juni 2008

Minggu, 30 Agustus 2009

Ada PNS tak Tahu Siapa Atasannya

Seringnya Mutasi

TENGGARONG, TRIBUN - Pegawai Negeri Sipil (PNS) non job atau pegawai 'menganggur' karena tak jelas posisi, tugas dan tanggung jawabnya, meminta agar Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar) memperhatikan nasib mereka. Keadaan tersebut sudah berlangsung hampir tiga tahun. "Oktober nanti kami genap tiga tahun non job. Selama itu, status kami, kami bekerja dimana, siapa bawahan kami, siapa atasan kami, ruangan kami dimana, meja dan kursi yang mana, itu tidak jelas. Kami mohon, semoga pemerintah sekarang dapat memperhatikan nasib kami," kata mantan Asisten III Pemkab Kukar Chairil Anwar yang mewakili rekan-rekannya saat melakukan pertemuan sesama pegawai non job di rumahnya, Sabtu (21/6).

Menurutnya, permintaan itu muncul setelah maraknya aksi demonstrasi mengenai penolakkan mutasi yang terjadi akhir-akhir ini. "Saya rasa mutasi itu sah, hanya penyegaran saja. Pejabat yang dimutasi masih mendapatkan posisi yang sama eselonnya. Bandingkan dengan kami, ada yang eselon II dan III, tiba-tiba setelah ada mutasi tidak jelas nasib kami," ujarnya.  Menurutnya, saat ini terdapat sekitar 180  PNS  non job. Mereka tidak dipekerjakan sejak mutasi Oktober 2005 dan Oktober 2006.

"Rata-rata yang di-non job-kan  adalah PNS dengan masa kerja sekitar 15-20 tahun ke atas. Bayangkan, kami sudah memiliki pengalaman dan keterampilan yang mumpuni, tapi mengapa kami tidak digunakan," kata seorang pegawai yang tidak dipekerjakan asal Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD). Ia meminta kepada Tribun namanya tak disebutkan. Menurutnya, 180 PNS yang tidak dipekerjakan itu berasal dari berbagai instansi pemerintah. Misalnya, Sekretariat Daerah, Dinas Pendidikan, Dinas Pertambangan dan Energi, Camat, Sekretariat Dewan dan lainnya.

"Hingga sekarang, kami tidak mendapat penjelasan dari BKD (Badan Kepegawaian Daerah) mengenai hal itu. Kami juga tidak mendapatkan SK (Surat Keputusan) Pemberhentian," ujarnya.  Ia menjelaskan, dalam UU Pokok-Pokok Kepegawaian Non 8 tahun 1974 dan PP 20 tahun 1995 mengenai kepegawaian, ada tiga hal yang dapat menyebabkan PNS diberhentikan. Ketiganya itu yakni, korupsi, amoral dan ideologi. "Tapi sebelum diberhentikan, kami juga harus mendapatkan surat teguran dan lainnya. Ini tidak, tiba-tiba tidak jelas bertugas apa," ujarnya.

Chairil juga mempertanyakan mengapa DPRD Kukar tidak mengambil tindakan melihat persoalan ini. Menurutnya, selama ini, DPRD Kukar hanya menyampaikan saran dalam pandangan fraksi ketika eksekutif menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPj). "Mengapa DPRD Kukar tidak menggunakan hak angket dan interplasi mereka. Padahal, jelas- jelas ada hal-hal yang melanggar peraturan," ujarnya. Karena itu ia  dan rekan-rekan mendorong DPRD menggunakan hak untuk melakukan penyelidikan mengenai adanya dugaan ketidakberesan di lembaga pemerintah. Selain itu DPRD juga bisa gunakan hak interplasi atau hak untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban pemerintah terkait kebijakan tertentu.

Sekarang tak Pernah Diundang Hajatan

SUARA tawa terdengar dari mulut Chairil, namun wajahnya tampak tak gembira. "Apa yang kami rasakan saat ini bukan kematian perdata, tapi kematian sosial masyarakat. Kami tak dianggap oleh rekan-rekan kami," kata Chairil, ketika ditemui di kediamannya, depan Terminal Timbau, Sabtu (21/6). Ia melanjutkan cerita pahitnya itu. "Dulu ada bawahan dan pegawai lainnya yang ketemu saya nunduk-nunduk, negur dan memberi sikap hormat lainnya. Tapi kalau sekarang, begitu melihat saya lalu menghindar jauh-jauh," ujarnya.

Tak hanya itu, ikatan silahturahmi yang dulunya terjalin erat tiba-tiba sirna akibat status sebagai non job. "Sekarang kalau ada hajatan, rekan-rekan saya dulu nggak bakal ngundang. Mungkin mereka khawatir, kalau mengundang mereka akan di-nonjob-kan juga," kata pria yang rambut dan jenggotnya mulai berwarna putih itu.  Oktober 2005, saat Ramadhan atau bulan penuh berkah, Chairil dimutasi. Ia dicopot dari jabatannya tanpa ada surat pemberhentian atau mendapat penjelasan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Ia tak tahu mengapa statusnya 'menganggur'.

Ia juga mengaku, tak diundang untuk hadir saat pelantikan dan sumpah jabatan lainnya. Ia juga tak mendapat Surat Keputusan (SK) yang baru. SK yang menjadi pedoman ia dalam bekerja, dimana ia bekerja, siapa atasan, bawahan, tugas dan lainnya. "Tak ada, semuanya itu tak ada. Hingga kini, saya belum pernah mendapat surat pemberhentian. Jadi, status saya masih Asisten III," ujarnya kemudian tertawa.
Walaupun belum mendapat surat pemberhentian, Chairil mengaku malu jika masuk kantor.

Sebab, pejabat baru penggantinya sudah ada di dalam ruangan. Ia memilih untuk tak turun kerja dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengambil hikmah dari kejadian itu. Chairil paham, apa yang menimpa dirinya adalah sesuatu di luar aturan. Namun ia tak berniat membawa masalah ini ke Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) di Samarinda. "Lebih baik saya habiskan waktu saya untuk berdoa. Ada tiga doa orang yang makbul. Pertama adalah doa dari pemimpin yang ada, lalu ibu bapa dan ketiga dari orang yang terdzalimi seperti kami ini," ujarnya.

Namun, asa masih ada dilubuk hati. Sebab ia masih berusia 49 tahun dan ingin, waktu 7-8 tahun sebelum memasuki masa pensiun, dapat digunakan untuk mengabdikan dirinya sebagai PNS. "Saya harap pemerintahan sekarang, memberi perhatian kepada kami-kami ini. Kami punya pengalaman kerja lebih dari 15 tahun, bahkan ada yang 25 tahun. Bicara kemampuan, kami sudah tak perlu diajarin lagi," ujarnya.(reo)
Source 23 Juni 2008

Minggu, 23 Agustus 2009

Pejabat-Pejabat Was-Was

Soal Mutasi di Pemkab Kukar

TENGGARONG, TRIBUN - Pejabat di Kutai Kartanegara (Kukar) saat ini harap-harap cemas menanti diberlakukannya  Peraturan Pemerintah (PP) 38 tahun mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.dan PP 41 tahun 2007 mengenai Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Sebab, dengan adanya kebijakan ini, beberapa dinas akan dihapus dan dileburkan dengan dinas lainnya.

"Saat ini pejabat harap-harap cemas. Apakah restrukrisasi organisasi yang akan dilakukan ini akan mengganggu jabatannya atau tidak," kata pengurus Kesatuan Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kukar Fadli, saat Seminar Implementasi PP No 38 dan 41 di di Pendopo Wakil Bupati Kutai Kartanegara, Kamis (19/6). Seminar itu dihadiri sekitar 50 orang, sebagian dari mereka adalah Kepala Dinas, Badan dan Kantor. "Kalau pejabat itu memandang jabatan itu sebagai prestise bukan sebagai pelayanan atau amanah, mereka pasti merasa terganggu. Siap atau tidak siap dengan kehadiran PP ini, pejabat harus ikhlas dan legowo," kata Fadli.

Ia menjelaskan, perasaan itu bisa saja timbul, karena dengan kehadiran PP ini, beberapa organisasi perangkat daerah akan dihapuskan, misalnya Dinas Pertanahan. "Berdasarkan kajian kami, kami mengusulkan agar dinas ini dihapuskan, walaupun termasuk dalam urusan wajib. Ini berdasarkan PP 41 pasal 22 ayat 2, tidak harus urusan wajib dibentuk dalam organisasi, tapi jangan sampai hal itu tidak diurus. Kemudian, berdasarkan, Permendagri No 57 tahun 2007, pelayanan pertanahan tidak perlu membentuk dinas pertanahan," kata Fadli.

Berbeda dengannya, Pejabat Asisten I Bidang Hukum dan Pemerintahan, Eddy Damansyah, mengusulkan, agar urusan pertanahan menjadi kewenangan Sektretariat Daerah dengan nomenklatur Bagian Administrasi Pertanahan.  "Menurut PP 38, urusan yang diserahkan kepada kabupaten mencerminkan hal-hal yang bersifat koordinasi, regulasi dan tim, termasuk pertanahan. Karena urusan pertanahan lebih dominan koordinasi dan regulasinya maka lebih baik diserahkan kepada Sekretariat Daerah," kata Eddy.

Eddy juga mengatakan, bahwa semuanya ini masih bersifat usulan dan akan terus dibahas. "Target kita sesuai PP 41, semua regulasi sudah rampung pada Juli 2008. Lalu, kita berharap dapat mengimplementasikannya pada awal 2009," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Kabupaten Kukar M Aswin yang menjadi moderator mengatakan, ia berharap masyarakat dapat memahami aturan ini. Ia juga berjanji akan meminalisir terjadinya perampingan.

Sebab, masyarakat Kukar selama ini mudah bergejolak jika terjadi hal-hal seperti ini. "Mutasi saja banyak yang demo apalagi kalau dinasnya dihilangkan," kata Aswin. Selain itu, dengan nada bercanda, ia khawatir, semakin banyak pejabat yang tak menduduki jabatan, maka semakin banyak yang stres. "Kalau banyak perampingan, banyak orang stres, nanti Pemkab malah banyak keluarkan biaya untuk itu. Tapi ini sekadar guyonan saja," katanya kemudian tertawa. (reo)
Source : Tribun Kaltim 20 Juni 2008

Perencanaan Tak Matang

SAMARINDA - Pemkab dan kalangan DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) mengakui, problem Jembatan Martadipura di Kota Bangun adalah “PR” (Pekerjaan Rumah) yang belum terselesaikan. Jembatan yang menghabiskan APBD Kukar sebesar Rp 105 miliar itu tak kunjung difungsikan, sejak diresmikan awal 2006 oleh Mendagri (waktu itu) M Ma’ruf. Apa saja kendalanya?

Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kukar Harun Nurasid yang dikonfirmasi koran ini, tak mau banyak komentar. Namun, ia menegaskan, masalah itu jadi salah satu prioritas untuk dituntaskan pada 2009. Pemkab sedang menyusun perencanaan pembangunan jalan layang yang jadi hambatan sampai jembatan itu belum difungsikan. Bahkan, menurut dia, pemerintah daerah menargetkan pembangunan jalan layang sekitar 15 kilometer itu akan rampung 2009.  “Insya Allah, kami akan bangun dan selesai 2009. Tapi, dananya mungkin dianggarkan bertahap sampai 2011,” jelasnya.

Sebelumnya, Kepala Bappeda Kukar Fathan Djunaidi mengungkapkan, pembangunan jalan layang yang menghubungkan Jembatan Martadipura perlu biaya sekitar Rp 225 miliar. Jalan layang merupakan alternatif, karena medan yang dilalui adalah rawa-rawa. Artinya, bila konstruksi jalan biasa tentu biayanya lebih besar lagi, karena rawa harus ditimbun dulu dengan ketinggian beberapa meter.  “Semuanya rawa dan tidak mungkin dibuat jalan biasa, sehingga alternatifnya, harus dibuat jalan layang," kata Fathan.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPRD Kukar HM Irkham mengatakan, jembatan itu belum difungsikan karena faktor perencanaan yang tidak matang. Pemerintah daerah tak konsisten membangun jalan layang. Seharusnya, ketika pembangunan jembatan itu direncanakan, kebutuhan jalan layang juga sudah dipikirkan. Supaya tidak mubazir, meskipun infrastruktur pendukungnya harus dibangun bertahap.

Politisi PAN itu memahami tujuan pemerintah membangun jembatan itu amat mulia. Yakni, untuk membuka jalur transportasi darat beberapa wilayah yang selama ini terisolasi. “Tetapi, karena perencanaan tidak bagus jadinya seperti itu. Jembatan bertahun-tahun hanya jadi barang antik, belum bisa difungsikan,” kata Irkham.
Disebutkan Irkham, komisinya yang membidangi keuangan dan aparatur menilai, jika pemkab serius mestinya begitu jembatan selesai dibangun langsung dilanjutkan dengan membangun jalan penghubung. Nyatanya, jalan layang yang akan dibangun malah sampai sekarang belum dikerjakan. “Ini tidak terlepas dari komitmen pimpinan di daerah untuk menyelesaikannya,” jelasnya.

Bahkan, menurutnya, bukan hanya jembatan itu bermasalah. Infrastruktur lainnya juga banyak bermasalah. Secara umum, hal itu terjadi karena konsentrasi para pengambil kebijakan di Kukar terpecah belakangan ini. “Belum selesai proyek yang satu, pindah lagi ke proyek yang lain. Akhirnya tidak ada yang beres,” tukasnya.
Karena itu, pemkab dan DPRD harus komitmen menyelesaikan persoalan tersebut. Tahun 2009 harus jadi prioritas, dan seluruh kebutuhan anggarannya dapat dialokasikan dalam APBD. Penegasan itu disampaikan Irkham, mengingat RAPBD Kukar 2009 masih dibahas dan ditargetkan dapat disahkan menjadi APBD akhir Desember ini. (kri)
Tribun Kaltim 25 Desember 2008

TENGGARONG - Penjabat Bupati Kutai Kartanegara Sjachruddin mengajak pejabat di lingkungan Pemkab Kukar menandatangani Pakta Integritas dan Kontrak Kerja siap menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Demikian dikatakan Sjachruddin saat rapat koordinasi dengan kepala badan, dinas, dan kantor serta seluruh camat di ruang serba guna kantor Bupati Kukar, Senin (22/12).

Penandatanganan Pakta Integritas sebagai langkap melaksanakan 10 pesan yang disampaikan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak saat melantik Sjachruddin. Sepuluh pesan yang dimaksud antara lain meminta agar Sjachruddin melakukan pengelolaan keuangan dengan baik, mencegah terjadinya korupsi kolusi dan nepotisme, memperkecil terjadinya konflik saat Pemilu 2009 dan menyatukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) agar tidak terkotak-kotak sehingga dapat bekerja dengan baik.

Awang juga berpesan agar Sjachruddin menandatangani Pakta Integritas bersama para pegawainya. Ini dilakukan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa di Kukar.  Usai pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan,  Sjachruddin langsung mengumpulkan seluruh pejabat Kukar di ruang rapat serba guna kantor bupati. Mantan Asisten I Pemprov Kaltim ini dilantik sebagai Pj Bupati Kukar menggantikan Samsuri Aspar yang kini tengah menjalani proses hukum di KPK.
Pelantikkan dihadiri Kapolda Kaltim Irjen Andi Masmiyat, perwakilan Pangdam IV/ Tpr, Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim, unsur Muspida Kaltim dan Muspida Kukar. Lebih jauh Sjachruddin menjelaskan, penandatanganan Pakta Integritas dan Kontrak Kerja bertujuan menciptakan pemerintahan bersih dan berwibawa di Kukar. Selain itu juga untuk mengukur kinerja aparat pemerintahan selama 15 bulan ke depan.

"Dari situ akan terlihat, apa yang telah dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah, baik input, proses, output dan dampaknya," ujarnya. Sjachruddin dilantik berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 131.64-958 tanggal 16 Desember 2008.

Selain Pakta Integritas, Sjachruddin juga akan mengedepankan pembinaan dengan mengoptimalkan Badan Pengawas Kabupaten (Bawaskab) untuk mencegah korupsi di pemerintahan. Bawaskab akan digunakan untuk meluruskan kegiatan-kegiatan yang mungkin salah dengan melakukan pembinaan.

"Senin pekan depan, saya ingin bertemu dengan Bawaskab untuk membicarakan hal ini. Saya ingin Bawaskab sering turun ke lapangan. Saya juga sudah membicarakan hal ini dengan Bawasprov dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) Kaltim. Saya melihat, selama ini memang pembinaan kurang kita manfaatkan. Jangan sampai Polres dan Kejaksaan yang turun duluan," ucapnya.

Pada kesempatan itu, Sjachruddin juga meminta agar para pegawai tidak bersikap berlebihan saat bertemu dengannya. "Saya ingin semuanya terus terang, jujur dan tak perlu ditutup-tutupi. Saya ingin para pegawai tak berlebihan saat bertemu dengan saya," ucapnya.  Ia mengatakan, jabatan yang diemban adalah cobaan. Apalagi ada 10 pesan yang dititipkan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak saat pelantikkan pagi harinya.

"Saat saya berdoa kepada Allah, kadang saya menangis, karena beban ini cukup berat. Saya kadang bertanya, apakah saya bisa melaksanakannya. Ini amanah dan saya tidak bisa memikul sendirian. Karena itu, seperti yang dikatakan Pak Tarmizi saat ke sini, kita butuh kekompakan untuk mencapai tujuan kita," ucapnya.

Sebelum menjabat sebagai Pj Bupati Kukar, Sjachruddin pernah menduduki posisi Sekretaris Kota Bontang, Pj Walikota Bontang, Asisten I Tata Praja Pemprov Kaltim dan mantan Kepala Bapedalda. "Sjachruddin pernah menjadi anak buah saat saya menjabat Kepala Bapedalda. Saya tahu dia adalah PNS yang baik, punya loyalitas, prestasi dan dedikasi yang tak perlu diragukan lagi," kata Awang. (reo)
Tribun Kaltim 23 Desember 2008

SAMARINDA -  Bila keinginan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak untuk menghentikan pembangunan Bandara Loa Kulu (Tribun, 23/12) diikuti oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, maka uang sebesar Rp 27 miliar bisa jadi akan terbuang sia-sia. Dana sebesar itu berasal dari 60 persen dari pembayaran total perencanaan pembangunan bandara sebesar Rp 45 miliar

"Pada tahun 2003, pembangunan bandara ini diprediksi akan menghabiskan dana hingga Rp 1,2 triliun. Dana itu digunakan untuk perencanaan, pembeliah lahan, pembangunan fisik bandara, fasilitasnya, landarasan udara, radar dan lainnya. Dan dana yang sudah kita gunakan berkaitan dengan perencanaan, sekitar 60 persen dari Rp 45 miliar," kata Kepala Badan Pengelola Bandara Loa Kulu, Kusuma Kandar, Selasa (23/12).

Perencanaan pembangunan bandara dikerjakan oleh konsorsium yang terdiri dari empat perusahaan. Keempat perusahaan itu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Rumah Indonesia ditugaskan untuk menyelesaikan masalah interior, Prakarya untuk pembangunan fisiknya, Graha Cipta Indonesia untuk perencanaannya dan Dirgantara Indonesia yang mengelola bandara ini.

Pembayaran dana-dana itu dilakukan dengan menggunakan uang dari APBD 2003 hingga 2005. Namun, sejak tahun 2006, atau sejak dugaan korupsi pembangunan bandara itu terungkap, tak ada dana lagi yang dianggarkan dalam APBD, termasuk APBD 2009. "Dana-dana itu kita gunakan hanya untuk perencanaan saja. Untuk kegiatan land clearing-nya, itu belum kita bayarkan karena memang belum ada kegiatan ke arah sana," ucapnya.

Ia juga menuturkan, pembangunan Bandara Loa Kulu ditargetkan untuk selesai sebelum PON 2008. Pembangunan bandara sudah digagas sejak tahun 2003. Selama dua tahun, hingga tahun 2005, kegiatannya berupa perencanaan dan pembebasan lahan. Kemudian, pada tahun 2006 hingga 2007 dilakukan pembangunan fisik. Sehingga pada tahun 2008, sudah digunakan untuk PON 2008.

"Salah satu alasan pembangunan Bandara Loa Kulu adalah untuk menghadapi PON 2008 yang lalu. Untuk mempercepat arus atlit," ucapnya. Namun, keinginan itu ternyata tidak terwujud karena terhambat izin prinsip dari Menteri Perhubungan (Menhub) saat itu.

Menurut Kumala, izin prinsip itu seharusnya keluar pada tahun 2006. "Menteri tidak mungkin mengeluarkan izin bandara yang berdekatan lokasinya," ucapnya.

Akibatnya, keinginan Syaukani untuk menerbangkan jemaah haji dari Bandara Loa Kulu ke Makkah hanya tinggal keinginan belaka. "Pak Kaning itu punya keinginan yang jauh ke depan. Dia ingin menerbangkan jamaah haji kukar langsung dari Bandara ini. Pak Kaning juga berpikir kalau bandara ini akan menjadi tumpuan kukar jika Sumber Daya Alam (SDA) habis dan mengandalkan sektor jasa dan pariwisata saja," ujarnya.

Masyarakat Kukar juga akan sulit untuk melihat Bandara yang arsitekturnya dibuat berdasarkan kekayaan alam dan budaya kukar. Atap bandara terinspirasi burung Enggang, gedung bandara mirip tameng perang dan tower bandara seperti mandau masyarakat Dayak. (reo)

KRONOLOGI  PEMBANGUNAN BANDARA LOA KULU
Tahun     Kegiatan
2003        Persiapan dan administrasi proyek
2004- 2005     Persiapan Sumber Daya Manusia (SDM)
        Disain bandara
        Perizinan dan sertifikasi
        Penyiapan sistem operasi bandara
2005        Namun, karena tak mendapatkan izin prinsip dari Menteri Perhubungan,              pembangunan bandara belum bisa dilanjutkan
2006-2008    Tak ada kegiatan. Pemkab juga tak menganggarkan untuk tahun 2009.
Tribun Kaltim 27 Desember 2008

JAKARTA - Bupati Kukar (non aktif)  Syaukani Hasan Rais gagal bersaksi untuk (Plt) Bupati Kukar Samsuri Aspar. Dua lembar surat yang dikeluarkan Rumah Sakit Pertamina Pusat menyatakan Syaukani sedang sakit. Sehingga tidak bisa menghadiri persidangan. "Hari ini kami akan menghadirkan empat saksi.Namun satu saksi yakni Syaukani HR tidak bisa hadir karena sakit," kata Jaksa Zet Tadung Allo dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/12).

Walhasil,Jaksa Penuntut Umum KPK hanya menghadirkan tiga saksi untuk terdakwa Samsuri Aspar.Yakni Ketua DPRD Kukar Bachtiar Effendi, Wakil Ketua DPRD Kukar Joice Lidia dan anggota DPRD yang menjabat Kepala Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) Setia Budi.

Seusai persidangan,jaksa Zet Tadung Allo menunjukkan surat  zin sakit Syaukani. Dalam surat yang ditandatangani dr Adji Suprayitno tertulis sakitnya Syaukani antara lain NIDDM Hypertensi dan observasi sleepy tremor dan HNP (sakit tulang bekas operasi).  "Kita akan panggil lagi saksi Syaukani pada persidangan berikutnya pada tanggal 8 Januari 2009," tambah Zet Tadung.

Dijelaskan Zet Tadung Allo, kehadiran Syaukani untuk menjelaskan apa saja kewenangan Bupati dan Wakil Bupati. "Apa benar ketika Samsuri Aspar selaku Wakil Bupati mendisposisi permohonan dana operasional DPRD, ketika itu Bupati (Syaukani) sedang berhalangan," lanjut Zet Tadung.

Secara terpisah, Humas RSPP Titik Wahyuni membenarkan Syaukani dirawat sejak 27 November lalu. "Tapi tidak terus-terusan dirawat. Kadang dirawat, kadang pulang," tegas Titik. Namun sumber Persda Network menyebutkan, Syaukani dirawat di kamar 604 kelas Presiden Suite. Di kamar paling mahal yang dimiliki RSPP, setiap harinya Syaukani harus membayar Rp 2,5 juta untuk kamarnya saja. (persda network/yls)
Tribun Kaltim 19 Desember 2008

JAKARTA - Pelaksana Tugas Bupati Kukar Samsuri Aspar mengaku menerima Rp 850 juta dari dana bantuan sosial (Bansos) senilai Rp 29,5 miliar yang menyeretnya ke Pengadilan Tipikor. Uang Rp 850 juta tersebut diterima dari Ketua Panitia Urusan Rumah Tanggan (PURT) Setia Budi yang kini juga menjadi terdakwa dalam kasus serupa.

Namun Samsuri mengaku tidak tahu kalau uang yang diterimanya ada kaitannya dengan dana bantuan sosial. Sepengetahuannya, uang tersebut adalah sumbangan dari Setia Budi sebagai Wakil Ketua Partai Golkar. Uang diserahkan ke Bendahara Partai Golkar. Namun setelah tahu uang berasal dari dana Bantuan Sosial Pemkab Kukar, Samsuri menyerahkan uang tersebut ke Setia Budi untuk dikembalikan.

Pengakuan tersebut disampaikan Samsuri Aspar saat bersaksi untuk terdakwa Setia Budi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/12). Saat Samsuri duduk sebagai terdakwa, Setia Budi gantian sebagai saksi. Setia Budi juga mengaku menyerahkan uang Rp 850 juta kepada Samsuri dalam bentuk Cek Multi Guna (CGM) Bank BNI sekita bulan November-Desember 2005.

Baik persidangan dengan terdakwa Samsuri maupun Setia Budi, dihadirkan saksi lain yang sama, yakni Ketua DPRD Kukar (non aktif) Bachtiar Effendi dan Wakil Ketua DPRD Kukar Joice Lidia.   

Selain itu, ada permohonan dana untuk mutasi senjata anggota DPRD yang diajukan Setia Budi pada November 2005 senilai Rp 1,2 miliar. Samsuri mengaku, kedua surat permohonan tersebut ditujukan untuk Bupati Kukar Syaukani Hasan Rais Cq Asisten IV Basran Yunus.

Namun dengan alasan Syaukani waktu itu tidak berada di kantor, Samsuri yang mengaku sudah terbiasa menerima surat permohonan semacam itu langsung mendisposisikan ke Asisten IV Basran Yunus.  (persda network/yls)

Tribun Kaltim 19 Desember 2008

JAKARTA - Perintah hakim Pengadilan Tipikor menindaklanjuti keterlibatan pihak lain dalam kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) di Kutai Kartanegara disambut positif Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Berdasarkan fakta persidangan, JPU KPK telah mengidentifikasi dua anggota DPRD, satu pejabat Pemkab Kukar dan satu orang pihak swasta yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi senilai Rp 29,5 miliar tersebut.

"Dari fakta persidangan, kita bisa menyimpulkan adanya keterlibatan pihak lain dalam perkara ini. Kita akan serahkan ke pimpinan KPK untuk dikembangkan. Saat ini, penyidik di KPK sedang mengembangkan penanganan perkara ini," kata Koordinator JPU KPK Zet Tadung Allo di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/12).

Keempat orang yang berindikasi terlibat kasus dana bantuan sosial adalah anggota DPRD Kha dan EM, Asisten IV Pemkab Kukar BY dan pihak swasta yakni Boy alias Ica. Jadi empat orang ini calon tersangka? "Ya pokoknya tugas kita menyerahkan ke pimpinan untuk ditindaklanjuti. Hakim juga sudah memerintahkan kita menindaklanjuti," lanjut Zet Tadung Allo.

Khusus untuk Kha, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Moefri secara tegas meminta agar JPU KPK menindaklanjuti status Kha yang kini masih sebagai saksi di Pengadilan Tipikor pada persidangan pekan lalu. Jaksa Zet Tadung Allo menjelaskan, peranan Kha yakni mengajukan surat permohonan dana operasional ke Plt Bupati Kukar Samsuri Aspar senilai Rp 18,5 miliar. Namun dana yang diterima tersebut, dibagi-bagikan kepada 37 anggota DPRD Kukar senilai Rp 16,5 miliar. "Kha sendiri menikmati Rp 2,5 miliar dan Rp 375 juta," ujar Zet Tadung Allo.

Saat bersaksi, Samsuri Aspar mengatakan bahwa surat permohonan dana Rp 18,5 miliar diserahkan oleh Kha yang diketahui sebagai anggota DPRD dan Wakil Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) DPRD Kukar. Ketua DPRD Kukar (non aktif) Bachtiar Effendi yang bersaksi untuk Setia Budi dan Samsuri Aspar mengaku, dirinya diberikan uang oleh Kha senilai Rp 375 juta. Begitu pula wakil Ketua DPRD Kukar Joice Lidia mengaku diberi Rp 125 juta.

Sedangkan keterlibatan EM, dia yang menggunakan dana bantuan sosial yang diberikan Pemkab Kukar kepada organisasi Banteng Mahakam sebesar Rp 5,5 miliar. "Setelah kita cek, ternyata tidak ada dana digunakan Banteng Mahakam. Rp 500 juta dipergunakan oleh EM dan sisanya Rp 5 miliar diberikan kepada Setia Budi," terang Zet Tadung Alo.

Terhadap Ica, dia lah yang mengajukan penggunaan dana Rp 5 miliar untuk peralatan band di 18 kecamatan. Namun realitasnya, dana yang dibelikan untuk band bagi Pengurus Tingkat Kecamatan (PTK) Golkar hanya Rp 1,3 miliar. Sisanya Rp 950 juta diserahkan ke Samsuri Aspar. Sedangkan, keterlibatan Asisten IV BY, dialah yang mendisposisi pencairan uang dana Bansos. BY juga mendisposisi 54 proposal fiktif untuk menggantikan dana Rp 18,5 miliar yang diterima DPRD. (persda network/yls)

Calon Tersangka Baru
* Kha (Anggota DPRD)
Berperan membagi-bagi uang bansos Rp 16,5 miliar
* EM (Anggota DPRD)
Menggunakan dana bansos Rp 5,5 miliar untuk pribadi dan Setia Budi
* BY (Asisten IV Pemkab Kukar)
Berperan mendisposisi 54 proposal fiktif pengganti dana Rp 18,5 miliar
* Boy alias Ica (Swasta)
Mengajukan dana Rp 5 miliar untuk membeli alat band

Tribun Kaltim 19 Desember 2008

Jumat, 14 Agustus 2009

Sjahchruddin Jadi Pj Bupati Kukar

Senin Dilantik, Menjabat 15 Bulan

SAMARINDA – Terjawab sudah siapa yang akan menduduki posisi Pj Bupati Kukar. Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak menyebutkan, Sjachruddin adalah pilihannya. Ia dilantik Senin (22/12) nanti.  “Sjachruddin akan jadi Bupati Kukar. Senin dilantik,” tegasnya kepada Kaltim Post di ruang kerjanya, kemarin. Menurut Faroek, alasan memilih Asisten I Sekprov Kaltim itu menjadi Penjabat (Pj) Bupati Kukar, karena Sjachruddin adalah sosok yang paling tepat untuk mengisi posisi itu.

“Secara kualitatif dan kuantitatif, beliau (Sjachruddin, Red.) memenuhi syarat. Apalagi, selama menjadi asisten I Sekprov dia bisa menjalankan tugasnya dengan baik,” jelasnya. Dalam daftar Faroek, para calon ternyata adalah mereka yang pernah menjadi pejabat bupati. Mereka adalah Sjachruddin yang pernah bertugas menjadi Pj wali kota Bontang, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kaltim Abdussamad yang pernah menjadi Pj Bupati Bulungan, dan Kepala Dinas Perhubungan Kaltim Adi Buhari Muslim juga pernah menjadi Pj Bupati Paser.

“Saya harap masyarakat Kukar dapat menerima kehadiran dia. Saya pikir, Sjachruddin merupakan sosok yang tepat untuk mengisi posisi itu,” jelasnya. Faroek menyebutkan, Sjachruddin menjabat selama 15 bulan terhitung saat dilantik Senin (22/12) nanti. “Dengan begini, pemerintahan Kukar dapat berlanjut. Apalagi saat menghadapi pemilihan umum pada 2009. Juga dalam penggunaan dan pencairan dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Red.) Kukar,” tuturnya.

SJACHRUDDIN KAGET

Sementara, Sjachruddin saat dikonfirmasi media ini mengaku kaget dengan informasi tersebut. Ia mengaku, belum mendapat informasi apapun dari Awang Faroek Ishak. “Saya sangat kaget. Saya belum tahu ada informasi ini,” ujarnya dengan suara lemas karena kaget mendengar kabar ini. Meski demikian, Sjachruddin mengaku siap dan berusaha menjalankan amanah dan tanggung jawab itu dengan sebaik-baiknya.  “Saya juga merasa khawatir. Ini tanggung jawab besar. Namun, saya berkomitmen untuk memegang teguh amanah ini dengan baik,” ujarnya. (*/che)
Kaltimpost 19 Desember 2008

KPK Bidik Tersangka Baru

JAKARTA - Jumlah saksi kasus korupsi dana bantuan sosial Kabupaten Kutai Kartanegara (bansos Kukar) yang diduga terlibat bersama terdakwa Samsuri Aspar dan Setia Budi kemungkinan besar bertambah. Jika sebelumnya ada Khairudin, Basran Yunus, dan Boyke Andre Noriza alias Ica, kini satu nama baru dimunculkan jaksa KPK Zet Tadung Allo.

Dia adalah anggota DPRD Kutai Kartanegara Edy Mulawarman. Menurut Zet, keterlibatan Edy terlihat pada proses pencairan proposal bansos fiktif untuk organisasi Banteng Mahakam senilai Rp 5,5 miliar.
Meski begitu, jadi tidaknya keempatnya jadi tersangka, lanjut Zet, sepenuhnya ada di tangan pimpinan KPK. “Fakta persidangan, perbuatan mereka memang sudah jelas. Yang pasti kita takkan membiarkan mereka bebas. Semua fakta persidangan itu sudah kita laporkan ke pimpinan,” tegas Zet selepas persidangan Setia Budi di Pengadilan Tipikor, Kamis (18/12).

Edy diperintah Setia Budi membuat poposal untuk Banteng Mahakam setelah mendengar ada 16 kegiatan bantuan kepada organisasi masyarakat yang tercantum dalam Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) Bagian Kesejahteraan Masyarakat di APBD Kukar pada 2006.

Yang diajukan awalnya senilai Rp 6,3 miliar, tapi setelah mendapat disposisi dari Samsuri, wakil bupati Kukar waktu itu, dan Asisten IV (Basran Yunus) tertanggal 27 Juni 2006, dana yang disetujui turun menjadi Rp 5,5 miliar. Uang ini kemudian dicairkan di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kaltim cabang Tenggarong pada 4 Juli 2006.

Dalam beberapa kali transfer sebanyak Rp 5 miliar dimasukkan ke rekening Setia Budi, adapun Rp 500 juta diterima Edy. “Kita punya bukti transferan uang ke Setia Budi-nya,” ungkap Zet. Sesuai dakwaan, untuk mempertanggungjawabkannya, atas perintah Setia Budi, uang ini kemudian dibuatkan 16 proposal fiktif oleh Edy, dengan ketentuan masing-masing nilainya di bawah Rp 500 juta.

Adapun keterlibatan Ica, Khairudin, dan Basran, sebut Zet, sudah jelas. Selaku Asisten IV, Basran punya kewenangan sebagai kuasa pengguna anggaran bansos. Dia yang menyetujui puluhan proposal fiktif dengan tujuan menguntungkan pribadi atau orang lain. Khairudn perannya sebagai penyalur uang dan pemohon proposal fiktif bersama Setia Budi. Sedangkan Ica, bersama Samsuri merancang 18 proposal fiktif pengadaan alat band bagi pimpinan Partai Golkar tingkat kecamatan seluruh Kukar.

Agar tak kentara untuk Golkar, Samsuri yang kala itu menjabat ketua DPD Golkar Kukar, menggantinya menjadi program Gerbang Dayaku Band senilai Rp 5 miliar. Terungkap pengadaan alat band sebenarnya menghabiskan dana Rp 1,153 miliar, ditambah Rp 25 juta untuk biaya operasional tiap kecamatan. Ica mengaku mendapat Rp 2 miliar, sedangkan Rp 950 juta diserahkan ke Samsuri.

UNTUNGKAN NEGARA

Mantan Ketua DPRD Kukar Bachtiar Effendi dan Wakil Ketua DPRD Kukar Joyce Lidya mengaku harus nombok untuk mengganti kerugian negara kasus bansos. Alasannya, data KPK dengan kenyataan yang mereka terima beda jauh.

Bachtiar bahkan mengaku hanya menerima uang Rp 50 juta – dalam 2 tahap pemberian Rp 15 dan Rp 35 juta-- dari Khairudin, yang belakangan diketahuinya uang bansos. Joyce agak besar senilai Rp 125 juta dalam bentuk cek multi guna BNI. “Kata Khairudin itu biaya operasional,” sebut keduanya.

Joyce mengatakan, kuitansi tak mencantumkan jumlah uang yang diterima. Dia hanya diminta Khairudin membubuhkan tanda tangan. “Cuma nama dan disebutkan dana operasional. Di bawah tanda tangan saya ada nama Made Sarwa dan Abubakar,” sebutnya.

Pada persidangan Setia Budi, Bachtiar dan Joyce dijadikan saksi bersama Samsuri Aspar. Sebaliknya, saat Samsuri jadi terdakwa, giliran Setia Budi memberikan kesaksian. Tadinya, mantan Bupati Kukar Syaukani HR ikut jadi saksi Samsuri, tapi karena tengah dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, dijadwalkan akan dipanggil kembali tanggal 8 Januari 2009. Joyce dan Bachtiar menyebutkan pula, apa yang dilakukan Setia Budi dengan mengajukan proposal biaya operasional Rp 18,5 miliar dan mutasi pistol berpeluru karet senilai Rp 1,2 miliar menyalahi aturan.

Keduanya juga membantah pernah ikut diajak pembicaraan tentang dua permohonan dana ke Pemkab tersebut. Sesuai aturan, pengajuan dana harus lewat rapat resmi dewan, bukan perseorangan—dengan menggunakan kop surat DPRD—seperti yang dilakukan Setia Budi yang waktu itu menjadi Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga dan Ketua Komisi II.

Sementara Samsuri membantah tahu soal pencairan dana Rp 5,5 miliar untuk Banteng Mahakam. Dikatakannya, proposal selalu ditanda tanganinya karena Syaukani selaku kepala daerah sering bepergian keluar daerah.

“Yang lebih tahu soal penggunaan anggaran adalah Asisten IV (Basran), makanya disposisi saya selalu ditulis proses sesuai prosedur dan lihat anggaran,” sebutnya. Samsuri juga membantah ikut terlibat dalam pembuatan 54 proposal fiktif pengganti pengeluaran Rp 19,7 milar dana operasional DPRD.

Sedangkan Setia Budi mengaku lupa untuk meminta disposisi ke Syaukani sebagai kepala daerah. Dia juga mengaku khilaf sampai mengajukan proposal puluhan miliar itu. Khusus untuk dana operasional DPRD, pria berumur 53 tahun ini mempertanyakan kenapa 36 anggota DPRD ikut menerima uang.

Khairudin berkilah hanya menerima RP 650 juta pada pencairan Rp 19,7 miliar. Sisanya dibagikan ke anggota DPRD masing-masing Rp375 juta, Basran (Rp 875 juta), Samsuri (Rp 850 juta), Khairudin (Rp 3,45 miliar), dan Fatahan Junaidi (Rp 375 juta).

Sakitnya Syaukani diakui humas RSPP Titik Wahyuni. Melalui telepon, Titik menyebutkan Syaukani menjalani rawat inap di ruang VVIP lantai 6. Titik menolak jenis penyakit yang diidap bekas pria yang digadang-gadang akan menjadi calon Gubernur Kaltim ini. Informasi yang diperoleh Kaltim Post, Syaukani dirawat sejak 17 November 2008. Selain penyakit lama urat syaraf terjepit di pinggang, Syaukani sempat menjalani operasi tulang belakang. Beberapa penyakit seperti hipertensi juga diidap Syaukani.(pra)
Kaltimpost 29 Desember 2008

JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan anggota DPRD Kukar, Khaerudin turut dijadikan tersangka dalam kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) Kukar senilai Rp 29,5 miliar selama tahun 2005-2006.

Perintah ini disampaikan langsung Ketua Majelis Hakim Moerdiono, saat menyidangkan terdakwa Ketua Komisi II DPRD Kukar, Setia Budi, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (11/12). Moerdiono meminta setelah mendengarkan kesaksian Budi Aji (rekanan) yang mengaku mendapatkan proyek alat komunikasi dan keamanan anggota DPRD Kukar senilai Rp 3,5 miliar, berkat peranan Khaerudin.

"Khaerudin ini statusnya apa?" tanya hakim Moerdiono. Kemudian dijawab Jaksa Zet Tadung Allo dengan, 'Statusnya saksi.' "Itu sudah (Khaerudin) bisa ditingkatkan statusnya," kata Moerdiono. "Saat ini masih proses pengembangan di KPK," ujar Zet menjawab. "Kalau terkait, ya harus diproses," kata Moerdiono dengan tegas. Saat sidang kemarin, JPU menghadirkan tiga saksi yakni mantan bendahara Bansos, Ari Junaidi, Wakil Ketua Panitia Anggaran (Panggar) Pemkab Kukar sekaligus Ketua Bappeda Kukar, Fathan Junaedi, dan Budi Aji.

Budi Aji mengaku mendapat Rp 3,5 miliar dari dana Bansos. Awalnya, dirinya hanya menjalankan proyek pengadaan komputer yang didapat Khaerudin, dan waktu itu dirinya berperan sebagai penagih. Pada tahun 2005, dirinya dipanggil Ketua Kadin yang waktu itu dijabat Setia Budi. Saat menghadap Setia Budi, dirinya disodori berkas oleh Khaerudin dan ditugaskan untuk mendatangi Bendahara Bansos Siti Aidi.

Berkas tersebut lalu dicairkan Rp 3,5 miliar setelah ditandatangani Siti Aidi. "Kata Khaerudin nggak apa-apa," kata Budi Aji. Ia lalu mencairkan Rp 1,2 miliar dari BPD Kaltim. Setelah menghubungi Khaerudin, Budi disuruh mentransfer ke beberapa rekening seperti BCA milik Setia Budi sebesar Rp 300 juta, rekening BNI milik Subiyakto Rp 300 juta, rekening BNI milik Setia Budi Rp 100 juta dan rekening BNI milik Setia Budi Rp 400 juta.

Pencairan kedua sebesar Rp 2,3 miliar. "Semuanya ditransfer ke rekening BNI atas nama Setia Budi," ujar Budi. Ketika ditanya pertanggungjawabannya, Budi mengaku tidak tahu. Sedangkan Ari Junaidi pada tahun tahun 2006 mengaku menjabat bendaharawan Bansos. Ketika itu dirinya mengaku mencairkan Rp 5,5 miliar karena ada permohonan dari anggota DPRD Kukar Edy Mulawarman. "Pencairan setelah ada persetujuan Pak Basran," ujar Ari.

Uang tersebut katanya untuk bantuan bagi lembaga Banteng Mahakam. Namun setelah dicek, hanya Rp 500 juta yang dipergunakan untuk Banteng Mahakam. Sebagai pertanggungjawaban maka dibuatlah 16 proposal fiktif.  Saat bersaksi, Fathan saling berbantahan dengan Setia Budi. Fathan mengaku tidak pernah menerima uang ataupun cek dari Setia Budi senilai Rp 375 juta. Namun Setia Budi mengatakan telah menyerahkan travel cek senilai Rp 375 juta. (persda network/yls)
Tribun Kaltim 11 Desember 2008

JAKARTA - Pengadilan Tipikor kembali menyidangkan (Plt) Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Samsuri Aspar dalam kasus Bansos, Kamis (11/12). Hadir sebagai saksi adalah Kepala Tata Usaha (TU) DPD Partai Golkar Kukar dan pihak swasta yakni Boyke Andrea Noriza alias Ica, serta Wakil Ketua Panggar Pemkab Kukar, Fathan Junaedi.

Ica sebagai kuasa CV Sinar Perkasa mengaku membuat proposal untuk pengadaan alat band untuk 18 kecamatan se-Kukar senilai Rp 5,5 miliar lewat program Gerbang Dayaku Band (GDB). Proposal tersebut lalu diajukan ke Pemkab Kukar melalui Khaerudin yang menjanjikan akan dimasukan dalam anggaran.

Namun setelah Anggaran Biaya Tamhahan (ABT) disahkan, anggaran untuk Band tidak masuk.  Khaerudin lalu mengusahakan dana yang kemudian dicarikan dari dana Bansos Pemkab Kukar. Setelah mendapat disposisi dari Samsuri Aspar dan Asisten IV Basran Yunus, bendahara Bansos, Siti Aidi, mencairkan dana sebesar Rp 5 miliar.

Namun yang bisa dicairkan hanya Rp 4,05 miliar. "Yang digunakan untuk Band Rp 1,5 miliar  kata Ica dalam persidangan. Sisanya, uang Rp 1,153 miliar untuk uang kas dan operasional Rp 25 juta. "Sedangkan sisanya Rp 950 juta dipinjam Samsuri melalui ajudannya Syahyani," ujar Ica. Namun saat diberi kesempatan menanggapi keterangan Ica, Samsuri membantah. "Saya hanya pinjam untuk keperluan operasi jantung. Tapi darimananya, saya nggak tahu," kata Samsuri.  (persda network/yls)
Tribun Kaltim 12 Desember 2008