KPK Bidik Tersangka Baru

JAKARTA - Jumlah saksi kasus korupsi dana bantuan sosial Kabupaten Kutai Kartanegara (bansos Kukar) yang diduga terlibat bersama terdakwa Samsuri Aspar dan Setia Budi kemungkinan besar bertambah. Jika sebelumnya ada Khairudin, Basran Yunus, dan Boyke Andre Noriza alias Ica, kini satu nama baru dimunculkan jaksa KPK Zet Tadung Allo.

Dia adalah anggota DPRD Kutai Kartanegara Edy Mulawarman. Menurut Zet, keterlibatan Edy terlihat pada proses pencairan proposal bansos fiktif untuk organisasi Banteng Mahakam senilai Rp 5,5 miliar.
Meski begitu, jadi tidaknya keempatnya jadi tersangka, lanjut Zet, sepenuhnya ada di tangan pimpinan KPK. “Fakta persidangan, perbuatan mereka memang sudah jelas. Yang pasti kita takkan membiarkan mereka bebas. Semua fakta persidangan itu sudah kita laporkan ke pimpinan,” tegas Zet selepas persidangan Setia Budi di Pengadilan Tipikor, Kamis (18/12).

Edy diperintah Setia Budi membuat poposal untuk Banteng Mahakam setelah mendengar ada 16 kegiatan bantuan kepada organisasi masyarakat yang tercantum dalam Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) Bagian Kesejahteraan Masyarakat di APBD Kukar pada 2006.

Yang diajukan awalnya senilai Rp 6,3 miliar, tapi setelah mendapat disposisi dari Samsuri, wakil bupati Kukar waktu itu, dan Asisten IV (Basran Yunus) tertanggal 27 Juni 2006, dana yang disetujui turun menjadi Rp 5,5 miliar. Uang ini kemudian dicairkan di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kaltim cabang Tenggarong pada 4 Juli 2006.

Dalam beberapa kali transfer sebanyak Rp 5 miliar dimasukkan ke rekening Setia Budi, adapun Rp 500 juta diterima Edy. “Kita punya bukti transferan uang ke Setia Budi-nya,” ungkap Zet. Sesuai dakwaan, untuk mempertanggungjawabkannya, atas perintah Setia Budi, uang ini kemudian dibuatkan 16 proposal fiktif oleh Edy, dengan ketentuan masing-masing nilainya di bawah Rp 500 juta.

Adapun keterlibatan Ica, Khairudin, dan Basran, sebut Zet, sudah jelas. Selaku Asisten IV, Basran punya kewenangan sebagai kuasa pengguna anggaran bansos. Dia yang menyetujui puluhan proposal fiktif dengan tujuan menguntungkan pribadi atau orang lain. Khairudn perannya sebagai penyalur uang dan pemohon proposal fiktif bersama Setia Budi. Sedangkan Ica, bersama Samsuri merancang 18 proposal fiktif pengadaan alat band bagi pimpinan Partai Golkar tingkat kecamatan seluruh Kukar.

Agar tak kentara untuk Golkar, Samsuri yang kala itu menjabat ketua DPD Golkar Kukar, menggantinya menjadi program Gerbang Dayaku Band senilai Rp 5 miliar. Terungkap pengadaan alat band sebenarnya menghabiskan dana Rp 1,153 miliar, ditambah Rp 25 juta untuk biaya operasional tiap kecamatan. Ica mengaku mendapat Rp 2 miliar, sedangkan Rp 950 juta diserahkan ke Samsuri.

UNTUNGKAN NEGARA

Mantan Ketua DPRD Kukar Bachtiar Effendi dan Wakil Ketua DPRD Kukar Joyce Lidya mengaku harus nombok untuk mengganti kerugian negara kasus bansos. Alasannya, data KPK dengan kenyataan yang mereka terima beda jauh.

Bachtiar bahkan mengaku hanya menerima uang Rp 50 juta – dalam 2 tahap pemberian Rp 15 dan Rp 35 juta-- dari Khairudin, yang belakangan diketahuinya uang bansos. Joyce agak besar senilai Rp 125 juta dalam bentuk cek multi guna BNI. “Kata Khairudin itu biaya operasional,” sebut keduanya.

Joyce mengatakan, kuitansi tak mencantumkan jumlah uang yang diterima. Dia hanya diminta Khairudin membubuhkan tanda tangan. “Cuma nama dan disebutkan dana operasional. Di bawah tanda tangan saya ada nama Made Sarwa dan Abubakar,” sebutnya.

Pada persidangan Setia Budi, Bachtiar dan Joyce dijadikan saksi bersama Samsuri Aspar. Sebaliknya, saat Samsuri jadi terdakwa, giliran Setia Budi memberikan kesaksian. Tadinya, mantan Bupati Kukar Syaukani HR ikut jadi saksi Samsuri, tapi karena tengah dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, dijadwalkan akan dipanggil kembali tanggal 8 Januari 2009. Joyce dan Bachtiar menyebutkan pula, apa yang dilakukan Setia Budi dengan mengajukan proposal biaya operasional Rp 18,5 miliar dan mutasi pistol berpeluru karet senilai Rp 1,2 miliar menyalahi aturan.

Keduanya juga membantah pernah ikut diajak pembicaraan tentang dua permohonan dana ke Pemkab tersebut. Sesuai aturan, pengajuan dana harus lewat rapat resmi dewan, bukan perseorangan—dengan menggunakan kop surat DPRD—seperti yang dilakukan Setia Budi yang waktu itu menjadi Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga dan Ketua Komisi II.

Sementara Samsuri membantah tahu soal pencairan dana Rp 5,5 miliar untuk Banteng Mahakam. Dikatakannya, proposal selalu ditanda tanganinya karena Syaukani selaku kepala daerah sering bepergian keluar daerah.

“Yang lebih tahu soal penggunaan anggaran adalah Asisten IV (Basran), makanya disposisi saya selalu ditulis proses sesuai prosedur dan lihat anggaran,” sebutnya. Samsuri juga membantah ikut terlibat dalam pembuatan 54 proposal fiktif pengganti pengeluaran Rp 19,7 milar dana operasional DPRD.

Sedangkan Setia Budi mengaku lupa untuk meminta disposisi ke Syaukani sebagai kepala daerah. Dia juga mengaku khilaf sampai mengajukan proposal puluhan miliar itu. Khusus untuk dana operasional DPRD, pria berumur 53 tahun ini mempertanyakan kenapa 36 anggota DPRD ikut menerima uang.

Khairudin berkilah hanya menerima RP 650 juta pada pencairan Rp 19,7 miliar. Sisanya dibagikan ke anggota DPRD masing-masing Rp375 juta, Basran (Rp 875 juta), Samsuri (Rp 850 juta), Khairudin (Rp 3,45 miliar), dan Fatahan Junaidi (Rp 375 juta).

Sakitnya Syaukani diakui humas RSPP Titik Wahyuni. Melalui telepon, Titik menyebutkan Syaukani menjalani rawat inap di ruang VVIP lantai 6. Titik menolak jenis penyakit yang diidap bekas pria yang digadang-gadang akan menjadi calon Gubernur Kaltim ini. Informasi yang diperoleh Kaltim Post, Syaukani dirawat sejak 17 November 2008. Selain penyakit lama urat syaraf terjepit di pinggang, Syaukani sempat menjalani operasi tulang belakang. Beberapa penyakit seperti hipertensi juga diidap Syaukani.(pra)
Kaltimpost 29 Desember 2008

0 komentar:

Posting Komentar