Soal Dugaan Korupsi Dana Bansos Kutai Kartanegara

TENGGARONG, TRIBUN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil anggota DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) dan beberapa warga di Ruang Aria Guna Polres Kukar, Jumat (18/4). Pemanggilan ini berkaitan dengan pemeriksaan dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) tahun 2005 sebesar Rp 18,5 miliar. Anggota DPRD yang diperiksa kemarin adalah Edy Mulawarman, Abdul Rahman, Fathur Rachman dan G Asman Gilir. Pemeriksaan berlangsung sekitar pukul 09.30 hingga pukul 11.30.

Abdul Rahman, yang keluar pertama sekitar pukul 11.05,  enggan berkomentar. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Begitu juga dengan G Asman Gilir, ia mengaku tak belum diperiksa KPK. "Belum, belum diperiksa," katanya seraya melambaikan tangganya tanda belum diperiksa.
Berbeda dengan keduanya, Fathur Rachman menceritakan prosesnya. Ia mengaku, bahwa KPK menanyakan berapa besar dana bansos dan kesediaan untuk mengembalikannya. "Bagaimanalah caranya, agar saya dapat mengembalikan uang tersebut. Apakah mau jual tanah, atau jual apalah, yang penting bisa untuk mengembalikan uang itu" ucapnya.  Edy yang keluar terakhir, malah bercerita banyak tentang pemeriksaannya. "Saya minta agar KPK memberikan saya tempo untuk mengembalikan dana itu. Saya punya keluarga, saya punya tanggungan. Dan saya siap mengembalikan dana itu," ujarnya.

Ia juga siap dipenjara. Asalkan prosesnya nanti benar-benar adil. "Kalau saya menerima dana Rp 1 miliar dan mendapat hukuman tertentu, lalu ada yang mendapat dana Rp 2 miliar, maka tinggal dikalikan saja berapa dana hukuman orang itu. Itu baru adil," ujarnya. Keempat wakil rakyat ini melengkapi sekitar 22 wakil rakyat yang telah dipanggil KPK hingga hari Jumat. Beberapa anggota dan pimpinan DPRD Kukar sudah dipanggil. Tinggal, sekitar 18 anggota Dewan yang belum dipanggil. Selain memeriksa anggota dewan, KPK juga memeriksa masyarakat biasa. Dari masyarakat tersebut, Tribun mendapatkan, terdapat sekitar 11 proposal tak bertuan dengan nilai Rp 3,6 miliar. Jumlah ini lebih besar dibandingkan pembangunan total gedung SMA 1 Tenggarong yang tercantum dalam APBD 2008, yakni senilai Rp 2,45 miliar.

Kesebelas proposal itu tak bertuan karena tak diakui oleh masyarakat yang nama, tandatangan dan KTP-nya tercantum di proposal itu. Mereka juga mengaku tak menerima sepeser pun dari dana yang dicairkan dari proposal itu. Kamis lalu, Hendro Waluyo, petani asal Bukit Biru mengaku, nama dan tandatangannya tercantum dalam proposal serta kwitansi senilai Rp 413 juta. Proposal itu berkaitan dengan kegiatan Wirakarya. Rekannya, Faroek mengaku menandatangani proposal sekitar Rp 200 juta-an dan seorang wanita muda menandatangani proposal Rp 350 juta. Ketiganya mengaku kaget, nama, tandatangan dan KTP mereka terdapat dalam proposal itu. "Proposal itu nilainya Rp 350 juta. Untuk kegiatan di pedalaman, semacam pertemuan pemuda-pemudi," ucap wanita yang mengenakan sepeda motor Jupiter.

Sedangkan kemarin,  dua orang pemuda mengaku menandatangai proposal senilai ratusan juta rupiah. Jumlah ini dipastikan akan terus bertambah seiring dengan banyaknya masyarakat yang akan diperiksa KPK. Penyidik KPK sendiri enggan memberikan komentar mengenai berapa nominal rupiah dari proposal yang tak bertuan itu.

Hanya Terima Rp 200 Juta
Tak seperti anggota DPRD Kukar lainnya yang menghindar saat bertemu wartawan, Eddy Mulawarman malah bercerita blak-blakkan tentang proses pemeriksaan dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (18/4). Bahkan, saat difoto, ia sempat bergaya dengan jarinya mengacungkan tanda victory (kemenagan). Ditemui di kantin dekat Ruang Aria Guna Polres Kukar, tempat pemeriksaan kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos), Eddy menceritakan, KPK menanyai tentang penerimaan dana tersebut. "Saya ini hanya korban. Saya tak tahu kalau itu bansos.  Saya diberi travel cheque BNI senilai Rp 150 juta. Tak ada tulisan  dan penjelasan bahwa itu dana bansos," ucapnya.

Ia juga mengatakan, saat menandatangani kuitansi atau semacam tanda terima, tak ada nominal angka di kuitansi itu. "Tadi saat pemeriksaan, terungkap bahwa setiap anggota menerima Rp 375. Dan KPK juga meminta dana sebesar itu dikembalikan. Saya jelas keberatan, saya hanya menerima Rp 150 juta saja," kata anggota DPRD Kukar paling muda ini. Edy saat ini berusia sekitar 29 tahun.
Ia lalu melanjutkan, selain menerima Rp 150 juta, ia juga mendapat Rp 50 juta dari rekannya di partai. "Saya terima dana tersebut, karena saya pikir mereka memang banyak proyek. Banyak uang. Ini sedekah, makanya saya terima. Mencari uang sebanyak itu kan tidak mudah. Jadi, ya, saya ambil saja," ujarnya.

Eddy mengaku salah menerima uang itu. Ia merasa teledor. "Saya akui, saya salah. Saya lalai. Kalau KPK minta mengembalikan, saya siap. Kalau KPK mau menyita aset saya, silahkan. Harus menjalani hukuman penjara juga tak masalah. Asal berkeadilan. Saya taat hukum. Dan saya hanya korban. Saya masih muda dan belum mengerti masalah ini. Panggar eksekutif dan panggar legislatif yang tahu persis mengenai dana ini, mereka yang membahasnya," ucapnya. Edy menegaskan kembali ia tak takut dipenjara.

Ini konsekuensinya dan ia menyadari ini saat mengambil keputusan menjadi anggota Dewan. "Saya tahu Risikonya. Setiap kerjaan ada resikonya. Tidur saja kadang kita keseleo," ucapnya seraya tertawa. Ia juga mengungkapkan, selama menjadi anggota DPRD Kukar, baru kali ini Sekretariat Dewan  memberikan dokumen APBD kepada dirinya. Padahal, ini adalah tahun keempat dia duduk di DPRD Kukar. "Ini dokumen APBD 2008. Selama ini, saya tak pernah diberi dokumen ini," ucapnya. (reo)

Dipublikasikan Tribun Kaltim 19 April 2008

0 komentar:

Posting Komentar