Selasa, 13 April 2010

Pangeran Ario : Kukar Memang Dikutuk

Sebut Banyak Pejabat Memakan "Rezeki" yang Bukan Haknya

TENGGARONG– Pernyataan Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Danang Widyoko bahwa Kutai Kartanegara (Kukar) merupakan daerah yang terkena ‘kutukan’ Sumber Daya Alam (SDA) sehingga banyak pejabatnya dijebloskan ke penjara dibenarkan Pangeran Kutai Kartanegara Ing Martadipura Ario Jaya Winata.

Ia meyakini, kutukan itu memang melanda Kukar karena banyak pejabatnya “memakan” semua rezeki, meski bukan haknya. “Dulu, semua pejabat di kerajaan itu disumpah. Tak melihat yang bukan haknya, tak mendengar yang bukan haknya, dan tak mengambil yang bukan haknya. Sekarang, pejabat Kukar dikutuk karena memakan semua rezeki di depan matanya, meski itu bukan haknya,” kata Pangeran Ario Jaya Winata yang akrab disapa Aji Boli ini, kemarin. Menurutnya, kekayaan alam di Kukar itu berumur jutaan tahun dan fungsinya untuk kemashalatan umat di Kukar.

Namun, diyakininya banyak pejabat yang mengeruk semuanya untuk kepentingan pribadi. “Ini realitasnya. Pejabat mengeruk semua sumber daya alam dengan bantuan pihak ketiga (perusahaan, Red.) untuk kepentingan segelintir orang saja. Padahal mereka harusnya tahu, kekayaan Kukar itu haknya orang Kukar.
Ini tidak seperti itu, rezekinya ayam saja diambil atau dimanipulasi (beras miskin, Red.),” ujarnya. Tak hanya itu, Aji Boli juga melihat, saat ini pengelolaan sumber daya alam di Kukar hanya menggunakan izin formal.


Padahal, di Kukar sangat kental budaya kulturalnya. “Zaman kerajaan dulu, semua orang harus berizin ke sultan dulu untuk berusaha. Karena adat itu hidup dan ada di Kukar. Sekarang, hanya dengan mengantongi izin pemerintah, semua orang berhak mengeruk kekayaan Kukar. Tak perduli di sekitarnya banyak warga Kukar yang miskin dan menangis kelaparan,” ungkapnya. Dia meyakini, bila pejabat Kukar ingin terlepas dari kutukan itu, maka harus disumpah secara adat ketika menempati posisi itu. “Ini pernah saya sampaikan sebelumnya ketika memperjuangkan Sultan Kukar Salehuddin I menjadi pahlawan nasional.
Semua pejabat saat ini harus disumpah secara adat oleh Sultan. Bila tidak, maka siap-siap saja dengan kutukan itu,” katanya.

Ada tidaknya kutukan itu, faktanya memang banyak pejabat Kukar yang dibui. Catatan Kaltim Post, sudah 22 pejabat tersangkut kasus hukum. Dalam menjalani proses hukum itu, ada yang menjalani hukuman seperti mantan Bupati Kukar Syaukani HR, mantan Plt Bupati Kukar Syamsuri Aspar, dan mantan Ketua PURT DPRD Kukar Setia Budi. Namun ada juga yang kasasi namun ada pula yang melarikan diri dari eksekusi aparat dengan menghilangkan diri (selengkapnya lihat grafis.). Soal Sebelumnya Danang Widyoko menegaskan Kukar ini contoh sempurna dari daerah yang terkena ‘kutukan’ SDA. “Karena dari hasil penelitian ilmu sosial, negara-negara yang kaya sumber daya alam justru terpuruk dalam kemiskinian, korupsi, konflik tiada akhir, dan ketertinggalan.

Sedangkan negara yang maju justru negara yang miskin SDA. Sebut saja Korea, Jepang, dan Singapura. Kukar, saya lihat contoh kecil dari sebuah daerah di Indonesia. Lihat saja di sini angka kemiskinannya cukup tinggi dan banyak yang tersangkut korupsi,” ungkap Danang kepada Kaltim Post usai debat calon bupati Kukar, Minggu (11/4). Ia pun khawatir jika para calon bupati dan wakil bupati tak pandai mengelola SDA, mereka bakal mengikuti jejak para pejabat Kukar yang telah tersangkut korupsi.

Berdasarkan catatan Kaltim Post, hingga saat ini setidaknya sudah ada 21 pejabat di Kukar yang dipenjara akibat tersangkut berbagai kasus korupsi. “Jangan sampai mereka ini menjadi barisan antre masuk penjara. Kita harap, mereka menjadi barisan orang yang bisa berbuat baik dan berkorban untuk rakyat Kukar,” harap Danang yang lembaganya punya komitmen untuk mengungkap kasus-kasus korupsi di Indonesia.

BELUM TERSANGKA

Kasus korupsi yang saat ini masih terus disidik Kejari Tenggarong yakni kasus dugaan mark up pemebebasan lahan Stadion Madya Kudungga di Desa Perjiwa Tenggarong Seberang. Melalui Kasi Pidsus Ahmad Muhdor menyatakan kasus ini memang kembali melibatkan mantan Bupati Kukar Syaukani Hasan Rais. Namun, kata dia, penyidikan masih terus dilakukan, sembari menunggu hasil perhitungan kerugian negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Saya perlu luruskan bahkan Pak Syaukani belum tersangka.

Hanya beliau dominan menjadi tersangka karena posisinya sebagai pemutus kebijakan,” katanya, kemarin. Dijelaskannya, saat ini pihaknya belum menggeber kelanjutan kasus ini karena masih menunggu perhitungan kerugian negara dari BPKP. “Kami berkomitmen menyelesaikan kasus ini. Tapi mohon semua pihak memahami kondisinya,” tegasnya. Kejari Tenggarong sempat menyebut bahwa Syaukani ada keterlibatan dalam kasus ini, bila dilihat pada posisinya sebagai Ketua Tim 9 (tim pembebasan lahan) dan sebagai Bupati Kukar saat itu.

Syaukani yang sebagai bupati memutuskan pembelian lahan itu, dinilai bisa dianggap salah. Kendati demikian, Muhdor menyebut semuanya masih dalam proses. “Karena itu, kami hanya bisa menyebut bahwa Syaukani ada kemungkinan menjadi tersangka. Tapi, belum secara yuridis ditetapkan sebagai tersangka,” ulangnya. Karena itu, ketika ditanya kapan pemeriksaan Syaukani, Muhdor mengaku belum dilakukan. “Karena statusnya sekali lagi belum tersangka,” ujarnya.

Satu-satunya tersangka dalam kasus ini, sebut Muhdor, yakni mantan kepala BPN Kukar Soeparlan. “Sebenarnya belum resmi juga kami tetapkan. Tapi, yang bersangkutan ini sudah hampir pasti jadi tersangka,” tegasnya. Dijelaskannya, Soeparlan disebut menjadi tersangka karena memiliki motif dalam kasus ini.
Yakni, posisinya sebagai kepala BPN Kukar dan anggota tim pembebasan lahan atau saat itu dinamakan tim 9 oleh Pemkab Kukar berdasarkan surat keputusan (SK) bupati. Kejari meyakini, dengan kedua posisi ini, Soeparlan melakukan mark up nilai jual tanah di Desa Perjiwa.

Karena ditemukan sejumlah kejanggalan. Salahsatu kejanggalan, pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas umum semestinya mengacu harga pasar dan nilai jual obyek pajak (NJOP). NJOP tanah di wilayah itu pada 2005-2006 sekitar Rp 7.150 per meter persegi, merujuk Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No 1/1994 dan Keputusan Presiden No 55/1993.

Sementara pembebasan dilakukan Pemkab Kukar melalui tim 9 senilai Rp 65 ribu per meter persegi. "Nah, nilainya jauh di atas NJOP maupun perkiraan harga pasaran. Apalagi harga jual tanah di situ disamakan antara lahan bersertifikat dengan yang tidak memiliki sertifikat hak milik. Di sana ada 4 kavling bersertifikat dan 51 kavling tak bersertifikat. Mengacu peraturan BPN, lahan tak bersertifikat dibayar 90 persen, dan tanah bersertifikat dibayar 100 persen," jelas Muhdor. Kejanggalan lain, lahan dibeli dahulu oleh pihak tertentu.

Selanjutnya dibebaskan Pemkab Kukar dengan harga jauh lebih tinggi, sehingga menguntungkan pembeli tadi. Pembayaran lahan stadion seluas 55,9 hektare melalui APBD 2006 senilai Rp 32 miliar. Tapi pemilik lahan justru menerima pembayaran di 2004-2005, sehingga muncul dugaan tanah dibeli terlebih dahulu sebelum dibebaskan.

Sebelumnya, keluarga Syaukani Hasan Rais menyesalkan langkah Kejari Tenggarong yang kabarnya telah menetapkan Syaukani sebagai tersangka kasus pembebasan lahan Stadion Kudungga di Desa Perjiwa, Tenggarong. Menurut istri Syaukani, Dayang Kartini, Kejari Tenggarong seharusnya melihat kondisi suaminya yang kini masih tergolek di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, setelah terserang stroke pada awal Januari 2009 lalu.

Akibat terserang stroke yang berujung gagal bernafas, tubuh Syaukani kini tak berfungsi dengan normal. Kedua kaki dan tangannya tak bisa digerakkan. Ingatannya pun terganggu, sehingga untuk mengenali keluarga dan kerabat dekatnya sering tak mampu.

Menurut Dayang, kondisi kesehatan suaminya itu sudah diakui pemerintah. Ini dibuktikan dengan masuknya nama mantan Ketua DPD Partai Golkar Kaltim ini, sebagai napi yang bisa mengajukan grasi (pengampunan) ke presiden, setelah terbukti bersalah melakukan korupsi dan dihukum 6 tahun penjara oleh Mahkamah Agung.(che/gs)
Kaltimpost 13 April 2010

0 komentar:

Posting Komentar